Nationalgeographic.co.id—Taman Sriwedari hari ini tak seelok kisah masa lalunya. Gempuran demi gempuran dilakukan, mengubah tatanan elok di dalamnya. Suatu kejemuan yang dirasakan hari ini tatkala Sriwedari masih dirundung sengketa.
Jika kita melihat taman ini jauh ke belakang, kita akan menemukan berbagai keindahan. Kata orang-orang di zaman dahulu, Taman Sriwedari membagi keelokannya sebagai bagian dari taman yang asri di jantung Kota Surakarta. Utamanya, di zaman Hindia Belanda.
Sebuah pemberitaan dari majalah Jawa klasik, Kajawèn, mewartakan tentang keelokan taman ini "layaknya surga," tulis koresponden dengan berbahasa Jawa berjudul "Asal Usul Taman Sriwedari" yang diterbitkan pada 28 Maret 1928.
Koresponden itu menyebut bahwa "Taman Sriwedari, sebagaimana dikisahkan dalam Serat Arjunasasra, adalah nama taman buatan milik Prabu Arjunasasra yang keelokannya tiada beda dengan taman-taman di surga, karena memang asli ciptaan Sri Batara Wisnu."
Dari Serat Arjunasasra nama Sriwedari dikenal dan dikaitkan dengan taman yang indah bagi kepercayaan Hindu-Jawa. Begitupun dengan Taman Sriwedari di Surakarta. Penamaan Sriwedari bagi taman rintisan Pakubuwana X itu juga karena faktor kemiripan.
Taman Sriwedari di Surakarta, selain keberadaan tamannya yang strategis, kondisi alamnya yang masih asri "memang serba-menyenangkan, keelokannya pun tiada terbantahkan," lanjutnya.
Meskipun Pakubuwana X yang tercatat sejarah sebagai pendiri taman ini, wacana pembangunannya sudah dikisahkan dalam majalah Kajawèn. Majalah yang mengisahkan tentang Pakubuwana II dalam memilihkan tanah untuk dibangun stadstuin—taman kota.
Dalam kisahnya, sepulang dari lawatan ke Ponorogo, Sinuhun Pakubuwana II sampai di Kartasura mendapati keratonnya dalam keadaan rusak berat akibat serangan tentara Cina.
Sinuhun kemudian bertitah, untuk segera disiapkan tempat yang tepat dan memadai untuk proses pemindahan keraton. Dijumpailah tempatnya, yakni Dusun Sala. Nama "Sala" sebenarnya adalah nama seorang tokoh setempat, yaitu abdi dalem jajar Ki Busala.
Penetapan titik-mula pembangunan keraton konon dilakukan dengan berpatokan pada langkah gajah Sinuhun: di mana pun langkah sang gajah berhenti, di situlah kandidat titik-mula keraton ditancapkan.
Dibebaskan berjalan dari Kartasura sambil diiringi para abdi dalem, gajah Sinuhun melenggang gontai ke arah timur. Setiba di Sala, sang gajah masih saja melenggang makin ke timur hingga berhenti dan lalu bergeming di satu titik.
Baca Juga: Kemeriahan Karnaval Hari Jadi Pakubuwana X di Sriwedari Tahun 1917
Source | : | Kajawèn (28 Maret 1928) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR