Nationalgeographic.co.id—Menjulurkan lidah di hari hujan, mungkin dianggap seperti tetesan air yang sama seperti air yang keluar dari keran. Tapi sebenarnya air hujan mengandung banyak bahan mikroskopis yang perlu disaring sebelum dipompa ke rumah Anda.
Pertanyaanya sekarang, apakah aman mengumpulkan dam minum air hujan?
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), ada banyak kontaminan yang terdapat di dalam air hujan. Di antaranya seperti bakteri, virus, parasit, debu, partikel asap dan bahan kimia lainnya.
Jika Anda mengumpulkan air hujan dari atap, itu juga bisa mengandung jejak yang ditinggalkan oleh hewan, seperti kotoran burung. Dan jika atap atau pipa pembuangan sudah tua, bahan seperti asbes, timah, dan tembaga juga bisa berakhir di tangki Anda.
Jika air hujan disimpan dalam wadah terbuka, mungkin juga penuh dengan serangga dan bahan organik yang membusuk, seperti daun mati.
Untuk alasan ini, CDC menyarankan agar tidak mengumpulkan dan minum air hujan. CDC lebih merekomendasikan untuk menggunakannya untuk tujuan lain, seperti menyiram tanaman.
Namun, tingkat kontaminan sangat bervariasi tergantung di mana Anda tinggal, dan risiko penyakit tergantung pada seberapa banyak air hujan yang Anda minum.
Jika Anda memiliki sistem pengumpulan yang bersih dan mensterilkan air hujan dengan benar, baik dengan bahan kimia atau dengan perebusan dan penyulingan, maka sebagian besar kotoran dapat dihilangkan. Hal ini menyebabkan banyak kebingungan tentang apakah air hujan tidak aman untuk diminum.
Tapi sekarang, di era modern bahan kimia buatan manusia, ada risiko baru yang terkait dengan minum air hujan.
Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan pada Agustus 2022 di jurnal Environmental Science & Technology, para peneliti menemukan bahwa air hujan di seluruh dunia memiliki konsentrasi PFAS beracun (zat alkil per dan polifluorinasi) yang melebihi pedoman kesehatan.
Temuan ini menunjukkan bahwa air hujan jelas tidak aman untuk diminum, terutama jika tidak diolah.
"Untuk diketahui, PFAS adalah istilah kolektif untuk lebih dari 1.400 bahan kimia dan zat buatan manusia yang secara historis telah digunakan untuk berbagai produk," kata penulis utama studi Ian Cousins, seorang ahli kimia lingkungan di Universitas Stockholm di Swedia, mengatakan kepada Live Science.
"Termasuk tekstil, busa pemadam kebakaran, peralatan masak anti lengket, kemasan makanan, rumput sintetis dan senar gitar."
Namun, "pemahaman saat ini tentang dampak biologis terutama didasarkan pada studi tentang empat asam perfluoroalkil (PFAA) yang merupakan subkelompok PFAS, kata Cousins.
PFAA ini termasuk asam perfluorooctanesulfonic (PFOS), asam perfluorooctanoic (PFOA), asam perfluorohexanesulfonic (PFHxS) dan asam perfluorononanoic (PFNA), yang menjadi fokus utama penelitian, tambahnya.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa bahan kimia ini sangat beracun dan dapat menyebabkan berbagai masalah. Termasuk berbagai jenis kanker, infertilitas, komplikasi kehamilan, masalah perkembangan, kondisi sistem kekebalan tubuh, dan berbagai penyakit usus, hati dan tiroid.
"Juga karena berpotensi menurunkan efektivitas vaksin pada anak-anak, kata Cousins. "PFAS juga cenderung menyebabkan kerusakan tambahan pada lingkungan, tetapi ide ini belum dipelajari secara rinci."
PFAS tidak mudah rusak, yang berarti mereka tetap berada di lingkungan lama setelah diproduksi dan sama beracunnya. "Hal ini menyebabkan para ilmuwan menjuluki PFAS sebagai "bahan kimia selamanya," tambahnya.
Baca Juga: Peneliti: Tanaman Akan 'Panik' Ketika Terkena Air Hujan
Baca Juga: Mengonsumsi Air Hujan Sebagai Air Minum, Amankah Bagi Tubuh?
Baca Juga: Embung Grigak Dibangun di Dusun Karang, Warga Tidak Perlu Tampung Air Hujan
Dalam studi tersebut, para peneliti mengumpulkan data dari sampel air hujan yang dikumpulkan di seluruh dunia. Mereka mengungkapkan bahwa PFAS masih berlimpah dalam air hujan di mana-mana di Bumi.
Konsentrasinya di atas pedoman keselamatan yang ditetapkan oleh EPA dan badan pengatur serupa lainnya di negara lain.
"Para ahli berharap bahwa konsentrasi PFAS mungkin sudah mulai menurun sekarang, tetapi ini jelas tidak terjadi," kata Cousins.
Para peneliti masih tidak yakin persis bagaimana PFAS berpindah ke bagian paling terpencil di dunia. Mereka berhipotesis bahwa PFAS di permukaan laut dibawa kembali ke atmosfer dan kemudian berpindah ke daerah lain sebagai air hujan.
Mereka berencana untuk menguji hipotesis ini dalam penelitian masa depan. "Mungkin juga PFAS masih bocor ke lingkungan dari tempat pembuangan sampah," kata Cousins.
Source | : | Live Science,Environmental Science & Technology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR