Nationalgeographic.co.id—Hingga saat ini, sudah lebih dari 700 jenis dinosaurus teridentifikasi dan diberi nama. Sebagian diantaranya merupakan spesimen lengkap yang berasal dari 3 zaman di era mesozoikum, sekitar 230 hingga 65 juta tahun yang lalu.
Tapi apakah Anda tidak penasaran bagaimana sebenarnya dinosaurus pertama kali ditemukan dan bagaimana kemudian makhluk ini disebut dinosaurus?
American Scientist mencatat, bahwa fosil dinosaurus pertama kali ditemukan oleh seorang naturalis yang berasal dari Inggris bernama Robert Plot pada tahun 1677. Naturalis adalah orang yang melakukan penyelidikan terhadap tumbuhan dan hewan.
Robert Plot saat itu adalah direktur pertama Museum Ashmolean di Oxford dalam Natural History of Oxford-shire. Ia menemukan fosil pertama tersebut di desa Cornwell di Oxfordshire.
Namun, pada saat menemukan fosil yang kemudian diketahui adalah tulang paha Megalosaurus tersebut, Plot justru mengira fosil tersebut adalah fosil manusia raksasa.
Plot mendeskripsikan fosil itu dengan sangat bagus, tetapi mengidentifikasinya sebagai tulang paha raksasa manusia.
Plot sebenarnya bukanlah seorang ahli paleontologi -sebutan untuk orang yang mempelajari fosil dan evolusi organisme. Seperti yang kita tahu sekarang bahwa identifikasi sebagian besar dinosaurus dilakukan oleh para ahli paleontologi.
Plot justru lebih dikenal sebagai ahli kimia, ia adalah Profesor Kimia pertama di Oxford University.
Saat menemukan fosil tersebut, Plot tahu bahwa itu adalah tulang paha, namun ia tidak yakin fosil tersebut milik makhluk apa.
Banyak ilmuwan ketika itu meyakininya sebagai tulang gajah raksasa, tapi Plot mendebatnya sebagai tulang manusia raksasa, meski Plot sendiri tidak yakin.
Bahkan ia sendiri sepertinya tidak begitu yakin dengan penemuan tersebut, ia punya teori sendiri terhadap fosil tersebut.
Menurutnya, fosil itu sebagian besar hanyalah hasil kristalisasi dari garam mineral yang kebetulan berbentuk seperti tulang hewan. Ia melihatnya dari kemungkinan reaksi kimia yang mungkin terjadi.
F Naturalis Richard Brookes membalikkan pendapat Plot, dan mencatat kemiripan yang mengejutkan dengan alat kelamin laki-laki.
Tidak dapat diidentifikasikan dengan pasti, fosil tersebut kemudian hanya disimpan di museum hingga 165 tahun. Hingga kemudian tepatnya pada tahun 1842, Sir Richard Owen, Paleontolog terkemuka Inggris menyadari bahwa tulang tersebut bukan berasal dari manusia raksasa ataupun makhluk lainnya yang kita kenal saat ini.
"Tulang yang telah menjadi misteri selama 165 tahun tersebut adalah milik makhluk purbakala yang memiliki filum atau cabang taksonomi tersendiri yang kemudian dinamai filum dinosauria," seperti dituliskan laman history.
Baca Juga: Apa Warna Tubuh Dinosaurus dan Bagaimana Ilmuwan Bisa Mengetahuinya?
Baca Juga: Penemuan Fosil Spesies Gar yang Selamat dari Kepunahan Dinosaurus
Baca Juga: Mengapa Dinosaurus Karnivora Memiliki Mata Elips dan Lebih Kecil?
Baca Juga: Lebih Tua dari Dinosaurus, Hiu Selamat dari Empat Kepunahan Massal
"Nama tersebut diambil dari bahasa Yunani dan Latin denon dan sauros yang berarti reptil yang mengerikan,"
Deskripsi tersebut sebenarnya melanjutkan identifikasi yang dilakukan juga oleh William Buckland sebelumnya pada tahun 1824. Buckland adalah seorang profesor geologi pertama di Oxford University dan juga kurator tidak resmi museum Oxford.
Ia menyatakan bahwa tulang temuan Plot tersebut adalah milik makhluk seperti reptil karnivora di zaman prasejarah.
Menurutnya, dalam perjalanannya pada tahun 1815 di Inggris, ia menemukan jenis tulang yang sama dengan yang telah ditemukan Plot di lebih dari 100 tahun sebelumnya.
Meski saat itu fosil itu dianggap tulang manusia raksasa, keyakinan Plot bahwa sebagian besar fosil itu hanyalah kristalisasi garam mineral, bahkan membuatnya tidak benar-benar diyakini sebagai fosil.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | History,American Scientist |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR