"Menurut temuan kami, efektivitas antibodi pertama, TAU-1109, dalam menetralkan strain Omicron adalah 92%, dan dalam menetralkan strain Delta, 90%. Antibodi kedua, TAU-2310, menetralkan varian Omicron dengan kemanjuran 84%, dan varian Delta dengan kemanjuran 97%," katanya.
Menurut Freund, efektivitas mengejutkan dari antibodi ini mungkin terkait dengan evolusi virus: "Infektivitas virus meningkat dengan setiap varian karena setiap kali ia mengubah urutan asam amino dari bagian protein lonjakan yang mengikat reseptor ACE2," jelasnya.
"Sehingga meningkatkan infektivitas dan pada saat yang sama menghindari antibodi alami yang dibuat setelah vaksinasi."
Sebaliknya, lanjutnya, antibodi TAU-1109 dan TAU-2310 tidak mengikat ke situs pengikatan reseptor ACE2. Tetapi untuk wilayah lain dari protein lonjakan -wilayah lonjakan virus yang karena alasan tertentu tidak mengalami banyak mutasi.
"Dan karena itu efektif dalam menetralkan lebih banyak varian virus. Temuan ini muncul saat kami menguji semua jenis COVID yang diketahui hingga saat ini," ia melanjutkan.
Kedua antibodi yang dikloning, dikirim untuk pengujian guna memeriksa efektivitasnya terhadap virus hidup dalam kultur laboratorium di University of California San Diego.
Freund percaya bahwa antibodi dapat membawa revolusi nyata dalam perang melawan COVID-19. "Kita perlu melihat pandemi COVID-19 dalam konteks wabah penyakit sebelumnya yang telah disaksikan umat manusia," katanya.
"Orang-orang yang divaksinasi cacar air saat lahir dan yang saat ini berusia 50 tahun masih memiliki antibodi, jadi mereka mungkin terlindungi, setidaknya sebagian, dari virus cacar monyet yang baru-baru ini kita dengar."
Sayangnya, ini tidak terjadi pada virus corona. Untuk alasan kita masih belum sepenuhnya mengerti, tingkat antibodi terhadap COVID-19 menurun secara signifikan setelah tiga bulan.
"Itulah sebabnya kami melihat orang terinfeksi berulang kali, bahkan setelah divaksinasi tiga kali," kata Freund.
"Oleh karena itu mungkin dengan menggunakan pengobatan antibodi yang efektif, kita tidak perlu memberikan dosis booster ke seluruh populasi setiap kali ada varian baru."
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Science Daily,Communications Biology |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR