Nationalgeographic.co.id — Penelitian baru dari Kite Pharma mengungkapkan bahwa paparan asap rokok pada kulit dari perokok dapat memicu penyakit kulit. Temuan ini menambah sederet bahaya rokok bagi perokok pasif dan lingkungan sekitar.
Laporan penelitian tersebut telah diterbitkan di eBioMedicine yang merupakan jurnal akses terbuka. Makalah tersebut bisa didapatkan secara daring dengan judul "Dermal thirdhand smoke exposure induces oxidative damage, initiates skin inflammatory markers, and adversely alters the human plasma proteome."
Untuk diketahui, asap rokok dapat tetap berada di permukaan dalam ruangan tanpa batas waktu, menyebabkan paparan yang berpotensi berbahaya bagi perokok dan non-perokok.
Penelitian baru ini menemukan bahwa paparan akut kulit manusia terhadap asap rokok meningkatkan biomarker yang terkait dengan inisiasi penyakit kulit, seperti dermatitis kontak dan psoriasis.
Asap rokok terdiri dari sisa polutan asap tembakau yang tertinggal di permukaan dan di debu setelah tembakau dihisap, dipancarkan kembali ke fase gas, atau bereaksi dengan oksidan dan senyawa lain di lingkungan untuk menghasilkan polutan sekunder.
Beberapa bahan kimia asap rokok, termasuk nikotin, bereaksi dengan oksidan lingkungan dan menghasilkan polutan sekunder, seperti nitrosamin spesifik tembakau, yang berbahaya.
Asap rokok dapat tetap berada di permukaan dalam ruangan tanpa batas waktu yang menyebabkan paparan yang berpotensi berbahaya bagi perokok dan non-perokok.
Tiga rute utama paparan asap rokok adalah inhalasi, ingesti, dan dermal. Kulit adalah organ terbesar yang terkena asap rokok dan mungkin menerima paparan terbesar.
"Kami menemukan paparan kulit manusia terhadap asap rokok memicu mekanisme penyakit kulit inflamasi, dan meningkatkan biomarker urine dari kerusakan oksidatif, yang dapat menyebabkan penyakit lain, seperti kanker, penyakit jantung, dan aterosklerosis," kata Shane Sakamaki-Ching, ilmuwan peneliti di Kite Pharma.
"Yang mengkhawatirkan, paparan kulit akut terhadap asap rokok meniru efek berbahaya dari merokok."
Penelitian ini melibatkan partisipasi 10 orang sehat, bukan perokok yang berusia 22 hingga 45 tahun.
Source | : | Sci News,EBioMedicine |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR