Nationalgeographic.co.id—Fenomena perubahan iklim yang sedang terjadi membuat bumi makin sering dilanda bencana alam, permukaan air laut naik, banyak lahan pertanian gagal panen, ketahanan pangan menjadi rawan, satwa liar kehilangan habitatnya, dan banyak penyakit dari hewan mulai menular ke manusia.
Banyak hal yang telah dicoba oleh masyarakat dunia untuk menahan laju perubahan iklim. Salah satunya adalah mengganti sumber energi dari yang kotor menjadi energi bersih terbarukan.
Lahan-lahan hijau seperti hutan juga perlu dijaga agar tak dialihfungsikan. Alih fungsi lahan sering kali mengatasnamakan kepentingan ekonomi, tapi inovasi baru dilakukan dunia dengan memberi kompensasi kepada negara-negara yang bersedia menjaga lahan hijaunya untuk tetap menyerap dan menyimpan karbon global.
Dalam sebuah sesi acara di Paviliun Indonesia dalam perhelatan Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim ke-27 (COP27) di Mesir pada Selasa (15/11/2022), Yayasan Konservasi Alam Indonesia (YKAN) mengadakan diskusi panel bertema “Forest Carbon Partnership Facility’s Emission Reduction Program in East Kalimantan, Indonesia: Progress and Lessons Learned”. Tema ini menyoroti penerimaan pembayaran pertama dari program pengurangan emisi gas rumah kaca yang dikenal dengan Program Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan atau Forest Carbon Partnership Facility Carbon Fund (FCPF-CF).
Pembayaran ini mencatatkan Indonesia sebagai negara pertama di kawasan Asia Pasifik bagian timur yang menerima pembayaran dari Program FCPF-CF. Pada 8 November 2022, Indonesia telah menerima pembayaran pertama sebesar 20,9 juta dolar Amerika atau sekitar Rp328 miliar dari total target pembayaran insentif sebesar 110 juta dolar Amerika untuk mencapai target pengurangan emisi sebesar 22 juta ton CO2eq pada 2024.
FCPF-CF adalah dana multi-donor Bank Dunia dari entitas pemerintah dan non-pemerintah, termasuk perusahaan swasta, dan terdiri atas dua mekanisme pendanaan yang terpisah namun saling melengkapi, yaitu Dana Kesiapan dan Dana Karbon.
FCPF dibentuk untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, meningkatkan dan melestarikan cadangan karbon hutan, dan mengelola hutan secara berkelanjutan (REDD+). Diluncurkan pada tahun 2008, FCPF bekerja dengan 47 negara berkembang di seluruh dunia dan 17 donor.
“Ini merupakan milestone penting dan merupakan wujud pengakuan internasional atas usaha kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, mitra swasta, akademia, komunitas, dan Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia. FCPF adalah salah satu contoh bahwa kita semua dapat bekerja bersama sebagai sebuah bangsa dalam menekan emisi gas rumah kaca,” ujar Laksmi Dhewanthi, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, saat membuka diskusi panel tersebut seperti dikutip dari keterangan tertulis YKAN.
Menurutnya, program REDD+ dan mekanisme pembayaran berbasis kinerja ini dapat diimplementasikan dan menjadi program insentif yang tepat untuk upaya Indonesia dalam memitigasi perubahan iklim, terutama dari sektor Forestry and Other Land Use (FOLU).
Andre Rodrigues de Aquino, Lead Environmental Specialist for Indonesia and Timor-Leste Bank Dunia, juga menyoroti pentingnya kolaborasi multipihak dalam mendukung keberhasilan program pengurangan emisi ini. “Kita tidak bisa mengesampingkan pentingnya jaringan kemitraan di level provinsi yang memastikan setiap infrastruktur berjalan untuk mencapai target program.”
Diskusi panel tersebut menyajikan pengalaman Pemerintah Indonesia dan Provinsi Kalimantan Timur dalam merancang, merundingkan, dan mengimplementasikan program pengurangan emisi FCPF, termasuk bagaimana usaha yang telah dilakukan dalam membangun komitmen dan kemitraan multipemangku kepentingan untuk mendukung pelaksanaan program. Panel diskusi ini juga menyoroti kemajuan yang telah dicapai, tantangan yang dihadapi, langkah selanjutnya, dan pembelajaran yang diperkaya dengan perspektif dari para pendukung FCPF.
Pada 2015, Kalimantan Timur terpilih sebagai provinsi utama untuk implementasi Program REDD+ di Indonesia, yang merupakan upaya pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, melalui mekanisme FCPF Carbon Fund. Telah disadari sejak awal, bahwa pengurangan emisi skala besar hanya akan tercapai dengan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan. Pendekatan yurisdiksi kemudian dilakukan agar setiap pemerintah daerah memainkan peranan kunci untuk mendorong pembangunan berkelanjutan.
Rane Cortez, Global Director for Natural Climate Solutions dari The Nature Conservancy, mitra yang telah bersama-sama dengan YKAN mendampingi Kalimantan Timur dalam mendorong pembangunan hijau, mengatakan bahwa pendekatan yurisdiksi ini menyoroti pentingnya mencari kepemimpinan yang efektif di setiap wilayah dan sektor, serta pemangku kepentingan utama. Hal ini diharapkan bisa membangun kepercayaan dan membangun visi yang sama, mengintegrasikan pemetaan kerja, dan meningkatkan akuntabilitas dengan adanya transparansi pendanaan. FCPF-CF ini membuktikan bahwa nilai ekonomi karbon ternyata bisa membantu program penurunan emisi.
Profesor Daddy Ruhiyat, Ketua Harian Dewan Daerah Perubahan Iklim Kalimantan Timur, mengatakan ada empat hal yang paling berkontribusi terhadap kesuksesan pengurangan emisi di Kaltim. Pertama, penguatan regulasi dan kebijakan yang mendukung kegiatan mitigasi. Kedua, integrasi program FCPF ke dalam program pembangunan.
Ketiga, pelibatan seluruh pemangku kepentingan dari tahap perencanaan hingga implementasi. Keempat, pengarusutaman strategi penurunan emisi secara berkesinambungan. Dia menyatakan implementasi FPCF- CF merupakan hal baru. Belum ada rujukan sama sekali, baik di tingkat provinsi maupun nasional.
Daddy menambahkan bahwa FCPF-CF merupakan program yang basisnya berdasarkan kinerja sehingga mengharuskan Kalimantan Timur mendanai dulu program-program penurunan emisinya. “Jika program penurunan emisi tersebut gagal, maka tidak ada kompensasi yang kami dapat dari Bank Dunia, situasi ini adalah risiko yang kami hadapi,” ujarnya.
Baca Juga: Video: Menjelajahi Misteri Liang-Liang Leluhur di Kalimantan Timur
Baca Juga: Aksi Seru Bahas Bumi dan Netralitas Karbon: Anak Muda Bisa Apa?
Baca Juga: Benarkah Menghentikan Deforestasi Berdampak Pada Emisi Masa Depan?
Baca Juga: Kebakaran Deforestasi Indonesia Sumbang 7% Emisi Gas Rumah Kaca Dunia
Pemerintah Kalimantan Timur yang diwakili Sri Wahyuni, Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim, menyatakan bahwa motivasi dan komitmen Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menjalankan program FCPF adalah karena sejalan dan searah dengan visi-misi Kaltim Hijau, yang sudah dideklarasikan pada tahun 2010, jauh sebelum inisiatif FCPF dimulai.
Lebih lanjut ia mengatakan, “Kami akan terus melanjutkan proses transformasi menuju ekonomi hijau dan berketahanan iklim."
Ia berharap mitigasi perubahan iklim dengan menekan tingkat deforestasi dan degradasi hutan ini bisa memberi manfaat bagi masyarakat Kalimantan Timur, termasuk kesejahteraan masyarakat adat dan komunitas setempat. "Slogan hutan sehat, warga sejahtera, harus terwujudkan di Kalimantan Timur,” tegasnya.
Diskusi panel ini juga menghadirkan Maria Elena Herrera Ugalde, National Forest Financing Fund Kosta Rika. Kosta Rika adalah negara kecil di Amerika Tengah dengan luas 5 juta hektare yang 50 persen wilayahnya masih berupa tutupan hutan. Maria Elena berbagi kisah sukses penerapan program FCPF-CF di Costa Rica dengan mengintegrasikan program FCPF ke dalam kebijakan nasional dan juga menjalin kemitraan yang kuat dengan masyarakat adat.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Yayasan Konservasi Alam Indonesia |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR