Nationalgeographic.co.id—Masyarakat di Buitenzorg—saat ini Bogor—sedang dalam antusiasnya menunggu giliran bioskop keliling. Orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan "layar tancap".
Layar tancap jadi salah satu momen yang banyak menyita perhatian warga desa kala itu. Rosihan Anwar mengisahkan tentang antusiasme penonton yang tak sabar menunggu pertunjukan layar tancap masuk ke desa mereka.
Ia menuliskan dalam buku gubahannya berjudul Sejarah Kecil petite histoire Indonesia: Jilid 1 yang diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Buku Kompas pada 2004. Waktu itu, bioskop masuk ke sebuah kampung di bagian barat Buitenzorg.
Di sebuah lapangan kampung yang kecil, seluruh warga hadir di sana. Terdapat semacam gedung buatan untuk menyaksikan layar tancap. Para pemilik Tionghoa terlihat dari kejauhan membawa truk Ford mereka mengangkut barang-barang.
"Sejumlah tikar kajang disusun dalam suatu empat segi besar," imbuhnya. Segera, warga membanjiri lapangan tersebut untuk menyaksikan sinema yang akan diputar. Sembari orang-orang Tionghoa itu menyiapkan layar tancap, satu per satu orang-orang berdatangan.
Layar tancap akan berdiri. Sejumlah kru yang bertugas mulai mendirikan dua tonggak bambu yang ditanamkan ke tanah lapang. Di antara kedua tongkatnya, direntangkan sprei tidur yang bermotif bercak-bercak dan layar telah berhasil dipasang.
"Di depannya dipasang proyektor yang mendapat aliran listrik dari generator truk, semua telah siap," lanjutnya. Ketika malam tiba, sinar rembulan menyeruak menyinari tanah lapang. Penonton mulai ramai dan berdesak-desakan.
Beberapa penduduk desa membawa tikar sendiri, dan tidak sedikit hanya menggunakan daun pisang, atau malah dibiarkan duduk di atas rumput begitu saja. Ramai riuh malam itu, tak seperti malam-malam biasanya.
Ada warga yang memanfaatkan momentum dengan membawa barang dagangan untuk dijajakan kepada penonton, mulai dari "sirop, kacang, tingting, bahkan soto serta sate," terus Rosihan dalam bukunya. Momen ramai itu merupakan Indische nacht atau malamnya Hindia (Belanda).
Saat ratusan warga termangu menunggu, film yang dinanti akhirnya muncul. Semuanya mulai terhenyak dan bergegas larut dalam pemutaran sinema layar tancap itu. Tampak lanskap Kota New York yang indah, menguasai seisi layar raksasa.
Tanpa tahu sinema apa yang akan diputar, warga selalu antusias dijejali film-film barat. Nuansa Amerika Serikat dan westernisasi saja, sudah cukup menarik antusias warga pedalaman Buitenzorg waktu itu. "Filmnya mulai!" sahut-menyahut menyoraki.
Source | : | Sejarah Kecil "petite histoire", Jilid 1 |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR