Chheang mengatakan kepada National Geographic bahwa negaranya tidak mempergunakan kera ekor panjang liar sebagai hewan penangkaran. Dia juga menambahkan bahwa orang-orang sering mengumpulkan kera "bermasalah" dan membuangnya di pagoda dan tempat wisata. Hewan-hewan itu, kata Chheang, kemudian ditangkap dan dikirim ke tempat perlindungan — tidak dibunuh atau digunakan untuk penelitian. Pencucian kera liar “tidak terjadi,” katanya. "Orang-orang hanya membuat keributan."
Chheang melanjutkan, “Ini adalah perdagangan internasional, jadi kami tidak dapat melakukan sesuatu tanpa izin CITES. Semuanya ada di buku catatan.” Di bawah CITES, status kera ekor panjang telah diatur sejak tahun 1977, yang berarti bahwa setiap pengiriman hewan yang dilindungi memerlukan dokumen yang menyatakan asal mereka.
“Peternakan kera berhasil untuk konservasi,” kata Chheang, dan “jika bukan karena penangkaran, hewan-hewan ini sudah lama punah.”
Chheang tidak menanggapi permintaan komentar menyusul berita penangkapan dan dakwaan terhadap rekan-rekannya.
Awal tahun ini, International Union for the Conservation of Nature memasukkan kera ekor panjang sebagai hewan terancam punah. Permintaan terhadap kera tersebut, yang populer di kalangan peneliti biomedis karena mudah diajak bekerja sama, melonjak selama pandemi. Para ilmuwan menggunakan kera tersebut antara lain untuk menguji vaksin COVID-19, sebagai model penelitian Alzheimer, dan untuk membantu memastikan toksisitas pestisida terhadap manusia.
Penelitian-penlitian medis tersebut memang terkesan bagus untuk kelangsungan hidup manusia ke depan. Namun, di sisi lain, sayangnya, penangkapan kera atau monyet liar untuk percobaan laboratorium adalah "ancaman besar" bagi konservasi mereka, tegas International Primatological Society.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR