Nationalgeographic.co.id—Soe Hok Gie adalah aktivis di era Orde Lama dan Orde Baru yang tak bisa lepas dari gunung. Gie adalah salah satu pendiri organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Indonesia (Mapala UI). Gie juga tercatat menjadi pemimpin Mapala UI untuk misi pendakian Gunung Slamet yang memiliki ketinggian 3.442 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Kemudian pada pertengahan Desember 1969, Gie bersama rombongan Mapala UI melakukan misi pendakian ke Mahameru, puncak Gunung Semeru yang mempunyai ketinggian 3.676 mdpl. Banyak sekali rekan-rekannya yang menanyakan kenapa ingin melakukan misi tersebut. Gie pun menjelaskan kepada rekan-rekannya.
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
Dalam buku catatan hariannya yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul Catatan Seorang Demonstran, Gie sering kali menulis soal gunung. Salah satunya seperti yang dikutip di atas.
Ia juga sering menulis puisi yang menyebut kata Lembah Mandalawangi yang ada di Gunung Pangrango. Salah satunya seperti puisi di bawah ini:
ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke mekkah
ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di miraza
tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu sayangku
bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah mendala wangi
ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danang
ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra
tapi aku ingin mati di sisimu sayangku
setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari, sini sayangku
kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku
tegakklah ke langit atau awan mendung
kita tak pernah menanamkan apa-apa,
kita takkan pernah kehilangan apa-apa
(Catatan Seorang Demonstran, Selasa, 11 November 1969)
Tapi bukan kepada pelukan Gunung Pangrango ia akhirnya jatuh, melainkan kepada Gunung Semeru. Semeru adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa yang memiliki ketinggian 3.676 meter.
Pada Jumat, di hari Lebaran kedua, 12 Desember 1969 pukul 06.00 pagi, Gie sudah berkumpul dengan rombongan kawan-kawannya di Stasiun Gambir, Jakarta. Mereka siap untuk berangkat menuju Stasiun Gubeng, Surabaya, dan kemudian memulai pendakian ke Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur.
Rudy Badil dalam buku berjudul Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, menulis bahwa Gie kala itu dikenal sebagai sejarawan muda dan mantan Ketua Mapala Fakultas Sastra-Universitas Indonesia (FS-UI). Selain itu ia juga dikenal sebagai penulis, aktivis, dan tokoh pergerakan mahasiswa di zaman awal Orde Baru.
Dalam rombongan tersebut, Herman Onesimus Lantang dipercaya sebagai pimpinan pendakian. Di ujung 1969, nama Herman sudah melegenda karena penelitian observasi-partisipasi antropologis di kalangan masyarakat Dani Timur di Lembah Besar Baliem, Pegunungan Tengah, Papua. Herman juga pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FS-UI periode 1965-1967.
Lalu ada juga Aristides Katoppo (Tides), satu-satunya yang sudah beranak-beristri dan memiliki jabatan tinggi sebagai pemimpin surat kabar nasional besar. Selain itu ada juga Abdurachman (Maman) yang saat itu menjabat Ketua Mapala FS-UI. Kemudian ada Anton Wijaya (Wiwiek), aktivis gerakan mahasiswa jaket kuning UI Rawamangun-Salemba (sebelum kampus UI pindah ke Depok, Jawa Barat).
Di samping itu ada tiga peserta lain yang non-Mapala UI. Mereka adalah Idhan Dhanvantari Lubis (19), mahasiswa Universitas Tarumanegara; Freddy Lodewijk Lasut (17) yang baru lulus dan bercita-cita mau mendaftar dan masuk UI; serta Rudy Badil sendiri yang merupakan mahasiswa tingkat persiapan antropologi FS-UI.
"Saya diajak gabung atas undangan Maman yang ketua, serta rekomendasi Soe Hok Gie, 'pak dosen' untuk mata kuliah Teknik Bacaan Ilmiah dan Kepustakaan," tulis Rudy Badil yang menyebut bahwa Gie, selain sebagai aktivis, juga pernah menjadi pengajar di almamaternya.
Rudy menceritakan bahwa di hari pertama perjalanan, Gie yang suka bicara dan berdiskusi "benar-benar mengumbar pengetahuannya tentang sejarah masa kumpeni di Jawa." Gie bicara soal sejarah pendirian rel kereta api demi kepentingan dagang kompeni, termasuk teori berdirinya desa dan kota di pentai uata Jawa Tengah sampai Jawa Timur. Dia juga sempat menyebut Stasiun Semarang dengan sisa bangunan tuanya sebagai salah satu stasiun penting pertama kereta api di Jawa.
Gie dan Tides juga sempat memeriksa dengan seksama teks buku punya Herman Lantang, buku kecil tentang pemanduan pendakian ke Gunung Semeru, Gids voor Bergtocht op Java, karangan Dr. Ch. E. Stehn, terbitan De Nederlandsch-Indische Vereninging voor Bergsport, 1930. "Menurut Herman Lantang, saat itu dia juga membekali tim dengan buku tambahan, Bergenweelde, karangan CW Wormster, terbitan penerbit di Bandung, 1928," tulis Rudy.
Mereka melalui pendakian dengan lancar hingga mencapai puncak Gunung Semeru pada Selasa, 16 Desember 1969. Bahkan, Gie yang lahir pada 17 Desember 1942, sempat ingin merayakan ulang tahunnya di tanah tertinggi Pulau Jawa itu keesokan harinya, Rabu 17 Desember 1969.
Namun, pada hari Selasa sore itu sebuah persitiwa besar terjadi. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak Mahameru, puncaknya Gunung Semeru, serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru.
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), Rudy bersama Tides, Wiwiek dan Maman menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya.
Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, rombongan Rudy tersebut berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Baca Juga: Aktivisme hingga Petualangan: Antara Gie, Pendakian, dan Semeru
Baca Juga: Letusan Gunung Semeru Sulit Diprediksi karena Dipicu Faktor Eksternal
Baca Juga: Sukarno Bukan Tanpa Cela, Berkali-Kali Dia Dikritik oleh Soe Hok Gie
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal. "Hok-gie dan Idhan so meninggal. Mereka tiba-tiba kejang-kejang dan kemudian tidak bergerak," lapor Herman.
Semua temannya bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan. Aksi evakuasi dan penyelaman itu, sayangnya, membuktikan bahwa laporan Herman memang benar.
Soe Hok Gie meninggal di usianya ke-27 tahun dalam dekapan dinginnya Semeru. Ia dan Idhan diyakini meninggal karena menghirup gas beracun yang dikeluarkan oleh Gunung Semeru pada 16 Desember 1969.
Aktivitas vulkanik Gunung Semeru yang merenggut nyawa Gie pada pengujung tahun 1969 itu mengingatkan kembali pada kita bahwa gunung tertinggi di Jawa tersebut sering aktif tiap bulan Desember. Pada Desember 2021, Gunung Semeru juga pernah erupsi hingga menewaskan 51 orang. Pada Desember 2022 ini, Gunung Semeru kembali meletus lagi, tapi semoga tak ada lagi korban jiwa akibatnya.
Source | : | Catatan Seorang Demonstran,Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bang |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR