Nationalgeographic.co.id—Setiap tahun, Selandia Baru mengimpor sekitar 2 juta ton palm kernel expeller (PKE), produk sampingan dari pengolahan minyak sawit di Indonesia dan Malaysia. Mereka mengimpor produk ini dengan biaya sebesar 800 juta dolar Selandia Baru atau sekitar Rp7,8 miliar untuk memberi makan sapi perah.
"Tapi penelitian kami menunjukkan PKE mengandung konsentrasi beberapa unsur yang mungkin berbahaya bagi sapi," tulis Hadee Thompson-Morrison, Brett Robinson dan Sally Gaw dalam sebuah artikel The Conversation. Ketiganya adalah peneliti lingkungan di University of Canterbury.
"Kami menganalisis komposisi kimia dari beberapa batch PKE yang diimpor ke Selandia Baru selama dua tahun. Kami menemukan kandungan zat besi, magnesium dan fosfor yang melebihi tingkat aman untuk kesehatan sapi perah. Beberapa batch mengandung konsentrasi aluminium, tembaga, belerang, dan kalium dalam 90% dari batas amannya," beber mereka.
Elemen-elemen ini mungkin memiliki efek positif dan negatif pada kesehatan sapi perah dan tanah. Namun, tidak ada pemantauan dan penelitian mereka menunjukkan komposisi kimia dari batch berbeda yang diimpor ke Selandia Baru sangat bervariasi.
Tembaga dalam PKE mungkin berguna untuk mengobati kekurangan unsur ini secara luas dalam sistem pertanian Selandia Baru. Demikian pula, magnesium dalam PKE dapat mengimbangi kebutuhan untuk melengkapi elemen ini untuk sapi perah yang sedang menyusui.
PKE dapat menjadi sumber pemupukan unsur hara ke dalam tanah. Produk ini mengandung fosfor konsentrasi tinggi, yang akan meningkatkan pertumbuhan padang rumput ketika disimpan di tanah dalam kotoran hewan. Namun, konsentrasi zat besi, aluminium, kalium dan belerang dalam PKE dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi pada sapi perah.
Efek sebenarnya pada peternakan sapi perah, tanah dan susu belum diketahui. Akan tetapi, bukti lain menunjukkan bahwa unsur-unsur kimia ini, ketika dimakan oleh sapi, dapat berakhir menjadi susu.
Baca Juga: Sapi yang Bahagia Hasilkan Susu Lebih Baik
Baca Juga: Riset Ungkap Kenapa Banjir di Indonesia Terjadi Lebih Sering dan Parah
Baca Juga: Jokowi Keluarkan Limbah Batu Bara dan Sawit dari Kategori Berbahaya
Baca Juga: Alih Fungsi Hutan Jadi Kebun Sawit Bikin Suhu Indonesia Makin Panas
Baca Juga: Peta Baru Ungkap Lahan Sawit Terluas Ada di Sumatra dan Kalimantan
PKE di lingkungan Selandia Baru
Saat ini, peraturan lingkungan mengharuskan petani untuk mengukur setiap input ke pertanian mereka untuk memenuhi anggaran nutrisi agar tetap dalam standar kualitas air tawar. Ketika komposisi PKE berubah secara bertahap, menjadi sangat sulit untuk mengukur input pertanian dan memenuhi anggaran nutrisi pertanian.
Fonterra dan Synlait, dua perusahaan susu terbesar di Selandia Baru, secara aktif mencegah penggunaan PKE karena dapat mengubah komposisi susu, sehingga kandungan lemaknya lebih tinggi.
Namun, PKE tetap banyak digunakan karena kekurangan pakan. "Secara potensial, penggunaan PKE dapat diimbangi dengan menggunakan kembali sebagian dari lebih dari 2 juta ton makanan dan limbah pemrosesan makanan yang dihasilkan Selandia Baru setiap tahunnya," kata Hadee Thompson-Morrison dan rekan-rekan penelitinya.
Produksi minyak sawit
Bahkan jika PKE terbukti bermanfaat bagi pertanian Selandia Baru, masih ada pertanyaan etis apakah Selandia Baru harus mendukung industri minyak sawit dengan pola produksi yang tidak berkelanjutan itu.
Produksi minyak sawit telah dikaitkan dengan deforestasi di hutan hujan tropis di Indonesia. Sebab, semakin banyak lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi komoditas yang semakin umum digunakan dalam makanan sehari-hari dan produk perawatan pribadi.
Bahkan ketika PKE telah disertifikasi oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil—sebuah program sertifikasi untuk penanam, pemasok, dan pengguna minyak sawit—penelitian menunjukkan bahwa minyak sawit ini tidak berbeda dengan yang lain dalam hal hasil sosial, lingkungan, dan ekonomi bagi masyarakat dan lingkungan.
Pada 2015 dan 2019, Indonesia mendapat perhatian media atas kebakaran hutan untuk pembukaan lahan produksi minyak sawit, yang mengakibatkan polusi udara di negara-negara tetangga.
Audit oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2018 menemukan 81% perkebunan kelapa sawit di negeri ini melanggar peraturan lingkungan. Pelanggaran yang dilakukan termasuk tidak mendapatkan izin, tidak memenuhi standar keberlanjutan dan perambahan hutan lindung di sekitarnya.
Oleh karena itu, Hadee Thompson-Morrison dan rekan-rekannya menyarankan pemerintah Selandia Baru tak lagi mengimpor produk sampingan sawit itu dari Indonesia maupun negara lain. Mereka menyarankan peternakan Selandia Baru untuk memanfaatkan produk limbah dari negara mereka sendiri yang berupa sisa dari pengolahan kentang, pembuatan anggur, pembuatan bir dan industri pengolahan makanan lainnya.
Source | : | The Conversation |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR