Nationalgeographic.co.id - Ilmuwan Karolinska Institutet di Swedia mengungkapkan adanya bahaya residu antibiotik di wilayah Tiongkok dan India. Residu tersebut mengancam kesehatan manusia dan berisiko menyebabkan resistensi antibiotik.
Para peneliti juga menentukan kontribusi relatif dari berbagai sumber kontaminasi antibiotik di saluran air, seperti rumah sakit, kota, peternakan, dan manufaktur farmasi di wilayah tersebut.
Temuan dan analisis komprehensif dari Karolinska Institutet tersebut telah diterbitkan dalam The Lancet Planetary Health.
Jurnal tersebut diterbitkan dengan judul "Antibiotic concentrations and antibiotic resistance in aquatic environments of the WHO Western Pacific and South-East Asia regions: a systematic review and probabilistic environmental hazard assessment" yang merupakan jurnal akses terbuka.
“Hasil kami dapat membantu para pembuat keputusan untuk menargetkan tindakan pengurangan risiko terhadap residu lingkungan dari antibiotik prioritas dan di lokasi berisiko tinggi, untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan,” kata Nada Hanna.
Hanna adalah peneliti di Departemen Kesehatan Masyarakat Global di Institut Karolinska di Swedia, dan penulis pertama studi tersebut.
"Mengalokasikan sumber daya ini secara efisien sangat penting bagi negara-negara miskin sumber daya yang memproduksi antibiotik dalam jumlah besar."
Bakteri yang menjadi kebal terhadap antibiotik merupakan ancaman global yang dapat menyebabkan infeksi bakteri yang tidak dapat diobati pada hewan dan manusia.
Antibiotik dapat memasuki lingkungan selama produksi, konsumsi, dan pembuangannya. Residu antibiotik di lingkungan, seperti air limbah dan air minum, dapat berkontribusi terhadap munculnya dan penyebaran resistensi.
Produsen Antibiotik Terbesar
Para peneliti telah memeriksa tingkat residu antibiotik yang kemungkinan berkontribusi terhadap resistensi antibiotik dari berbagai sumber perairan di Wilayah Pasifik Barat (WPR) dan Wilayah Asia Tenggara (SEAR), wilayah yang didefinisikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia.
Source | : | The Lancet Planetary Health,Karolinska Institutet |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR