Baca Juga: Kehebatan Kereta Perang Mesir Kuno Alias Tank Andalan Para Firaun
Khusrau I, Raja Persia, telah mengepung Edessa dan mengalahkan pasukan Romawi di sana. Pasukan Khusrau memasuki wilayah kota. “Tetapi orang Romawi,” tulis Procopius, “dengan menggantung seekor babi di menara, lolos dari bahaya. Saat babi itu tergantung di sana, dia secara alami menjerit. Hal ini membuat gajah itu kesal dan mundur sedikit demi sedikit.
Seiring waktu, pasukan musuh belajar melawan taktik ini. Gajah dilatih untuk tidak takut pada pekikan babi. Agar bisa bertempur dengan nyaman, gajah pun dirawat bersama dengan anak babi. Ini memaksa Bizantium, pewaris warisan Romawi, untuk mengubah taktik perangnya. Padahal taktik tersebut dipelajari dengan susah payah dalam banyak pertempuran dengan Abbasiyah dan Umaiyadds.
Babi Menyala dari Megara jadi senjata yang membakar
Bangsa Romawi tidak sendirian dalam menggunakan babi sebagai senjata perang. Babi pembakar, atau babi yang menyala, digunakan dalam pertempuran di Megara oleh Antigonus II Gonatas pada 266 Sebelum Masehi.
Penduduk setempat menyiram babi dengan ter yang mudah terbakar, juga minyak mentah atau resin. Mereka kemudian membakar dan menggiring babi itu ke arah gajah perang musuh.
Babi-babi malang itu mendengus dan memekik di bawah siksaan api. Mereka melompat ke depan sekuat tenaga di antara gajah-gajah. Gajah yang perkasa itu memecah barisan dalam kebingungan dan ketakutan, dan lari ke berbagai arah.
Gajah yang ketakutan juga menginjak-injak sejumlah besar prajurit mereka sendiri hingga mati mengenaskan. Peristiwa ini direkam oleh penulis militer Polyaenus dan Aelian.
Sejak saat itu, Antigonus memerintahkan orang India, pelatih gajah, untuk memelihara babi di antara mereka. Diharapkan, gajah-gajah dapat terbiasa dengan babi dan kebisingan yang ditimbulkannya.
Praktik ini sangat umum. Bahkan, sempat diabadikan pada koin Romawi dari periode tersebut, yang menggambarkan seekor gajah di satu sisi dan seekor babi di sisi lain.
Memadamkan taktik babi perang
Seiring waktu, penurunan penggunaan babi perang berkorelasi dengan penurunan gajah. Banyak spesies gajah diburu dan ditangkap sehingga jumlah mereka menyusut secara signifikan. Pada zaman kuno, perusakan habitat gajah menyebabkan penurunan populasi gajah secara keseluruhan. Ternyata perburuan liar ini telah berlangsung sejak zaman kuno. Dan mirisnya, hal tersebut tidak berhenti hingga kini.
Penggunaan gajah dalam pertempuran berkurang, dan karenanya, babi pembakar tidak lagi digunakan. Babi-babi ini memiliki masa hidup yang pendek setelah dibakar, membuat mereka secara taktis tidak efektif melebihi batas tertentu.
Selain itu, dalam banyak kasus, pelatihan babi yang tidak efektif menimbulkan masalah baru. “Babi mengamuk di kamp dan mendatangkan malapetaka,” ungkap Pandey.
Ada beberapa keraguan tentang kebenaran babi perang ini pasalnya penulis zaman kuno menulisnya beberapa abad setelah pertempuran terjadi. Misalnya, Polyaenus memiliki minat yang berbeda dalam menceritakan teknik dan trik pertempuran yang menarik atau tidak biasa. Aelian suka mengumpulkan fakta dan kepercayaan kuno tentang hewan.
Namun dapat dipastikan jika gajah adalah perpanjangan dari tradisi Helenistik. Sehingga berbagai tindakan telah dikembangkan selama berabad-abad dalam upaya untuk melawan gajah yang kuat. Kemungkinan pekikan babi atau babi yang menyala adalah salah satu dari banyak tindakan tersebut.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR