Ayahnya ditangkap dan diasingkan karena tidak membayar pajak. Kong Adim bersama beberapa saudaranya terpaksa melarikan diri meninggalkan ayah mereka.
Selama beberapa tahun, dia berpindah tempat. Tidak pernah menetap lama di satu kampung. Hingga di satu masa pelariannya, dia mulai lelah.
Dia pun memutuskan bergabung menjadi tentara KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, hingga akhirnya Indonesia merdeka dan pasukan ini dibubarkan.
Suatu malam, sekitar tahun 1947, Kong Adim bersama pemuda lain yang menumpang kapal kayu milik nelayan, merapat di Pulau Rotterdam.
Kala itu, Pulau Rotterdam telah dihuni oleh penduduk dari daratan Pulau Jawa—Batavia—yang melarikan diri dari kejaran para penagih pajak. Seorang Bek, sebutan untuk jabatan lurah pada zaman kolonial, menerima mereka dengan tangan terbuka dan mempersilahkan para pendatang baru untuk mencari lahan lalu menggarapnya.
Menjelang 1954, luasan Pulau Rotterdam mulai menyusut diterpa ancaman ekologis. Abrasi besar-besaran mengikis bibir pantai hingga pulau ini tidak lagi bisa dihuni.
Bek memberi perintah pada penduduk Pulau Rotterdam untuk mengungsi ke Pulau Amiterdam. Namun, perintah itu diabaikan.
Tepat pada 1954, saat Pulau Rotterdam dirasa benar-benar akan tenggelam, dimulailah perpindahan penduduk secara besar-besaran ke Pulau Amitterdam.
Karena mayoritas penduduk yang berpindah berasal dari daratan Pulau Jawa, maka berubahlah nama Pulau Amiterdam menjadi Pulau Untung Jawa.
Peristiwa ini diabadikan dengan mendirikan sebuah tugu bernama “Tugu Perpindahan”. Tugu ini terletak di sebelah timur pulau, terkurung oleh pagar besi dan diapit oleh rumah-rumah penduduk.
“Silakan diminum,” ucap Buk Mini, sembari membawakan minuman ringan dingin bersoda. Tidak lama, pelantang suara masjid mengumandangkan azan. Langit sudah hitam. Kini tiba bagi kami untuk berpamitan.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR