Oleh Dani Kosasih
Nationalgeographic.co.id—Namanya Waliadim. Warga pulau akrab menyapanya dengan panggilan Kong Adim. Ia tidak ingat berapa usianya saat saya tanya. Memorinya sudah acak. Sporadis terpencar-pencar lintas masa. Mengingat nama utuhnya pun cukup sulit.
Saat saya tanya, perlahan Kong Adim melafalkan surah Al Kafirun. Di ayat terakhir yang berbunyi, “lakum dīnukum wa liya dīn,” Kong Adim menebalkan kata paling ujung. Itulah namanya, Waliadim.
Kong Adim bangkit dari kursi plastik seketika saat melihat kami tiba. Tubuhnya renta berbalut gamis putih dari leher hingga kaki. Di kepalanya bertengger kopiah yang warnanya seragam dengan gamis.
Perlahan, dia jalan membungkuk menyambut kehadiran kami. Saya mencium punggung tangan kanannya lalu melepas sepatu dan beranjak masuk rumah.
Kong Adim lahir di Kosambi, Tangerang, Banten. Istri dan anaknya memiliki ingatan yang berbeda saat saya bertanya tentang tahun kelahiran si kakek itu.
“Pokoknya, antara 1920 atau 1923, kami lupa,” jawab mereka saling menoleh. “Belum ada Presiden ... Belanda itu masih Wilhelmina ... Itu terus yang diingat Kong. Itu terus yang dia bilang,” kata Buk Mini, istri Kong Adim.
Masa remaja Kong Adim dihabiskan membantu keluarganya bertani padi. Terkadang, di musim tertentu, keluarganya juga berkebun buah-buahan.
Satu ketika, Kong Adim yakin dengan ingatannya, saat itu masih siang, rumah milik ayahnya dihancurkan oleh tentara pribumi yang menjadi antek pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Ayahnya ditangkap dan diasingkan karena tidak membayar pajak. Kong Adim bersama beberapa saudaranya terpaksa melarikan diri meninggalkan ayah mereka.
Selama beberapa tahun, dia berpindah tempat. Tidak pernah menetap lama di satu kampung. Hingga di satu masa pelariannya, dia mulai lelah.
Dia pun memutuskan bergabung menjadi tentara KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, hingga akhirnya Indonesia merdeka dan pasukan ini dibubarkan.
Suatu malam, sekitar tahun 1947, Kong Adim bersama pemuda lain yang menumpang kapal kayu milik nelayan, merapat di Pulau Rotterdam.
Kala itu, Pulau Rotterdam telah dihuni oleh penduduk dari daratan Pulau Jawa—Batavia—yang melarikan diri dari kejaran para penagih pajak. Seorang Bek, sebutan untuk jabatan lurah pada zaman kolonial, menerima mereka dengan tangan terbuka dan mempersilahkan para pendatang baru untuk mencari lahan lalu menggarapnya.
Menjelang 1954, luasan Pulau Rotterdam mulai menyusut diterpa ancaman ekologis. Abrasi besar-besaran mengikis bibir pantai hingga pulau ini tidak lagi bisa dihuni.
Bek memberi perintah pada penduduk Pulau Rotterdam untuk mengungsi ke Pulau Amiterdam. Namun, perintah itu diabaikan.
Tepat pada 1954, saat Pulau Rotterdam dirasa benar-benar akan tenggelam, dimulailah perpindahan penduduk secara besar-besaran ke Pulau Amitterdam.
Karena mayoritas penduduk yang berpindah berasal dari daratan Pulau Jawa, maka berubahlah nama Pulau Amiterdam menjadi Pulau Untung Jawa.
Peristiwa ini diabadikan dengan mendirikan sebuah tugu bernama “Tugu Perpindahan”. Tugu ini terletak di sebelah timur pulau, terkurung oleh pagar besi dan diapit oleh rumah-rumah penduduk.
“Silakan diminum,” ucap Buk Mini, sembari membawakan minuman ringan dingin bersoda. Tidak lama, pelantang suara masjid mengumandangkan azan. Langit sudah hitam. Kini tiba bagi kami untuk berpamitan.
Saya terlena dengan kisah yang dituturkan Kong Adim. Seakan saya terbawa dalam memori masa lalu di era kolonialisme yang dia lalui. Sayang, tidak banyak literatur atau referensi yang bisa membuktikan kisah Kong Adim. Akan tetapi, bagi masyarakat Pulau Untung Jawa, kisah ini merupakan dongeng tutur yang telah melekat. Khususnya untuk alasan kenapa pulau ini bernama Untung Jawa.
Pulau bersejarah sejak abad ke-16
Salah satu daya tarik wisata di Pulau Untung Jawa adalah island hooping atau jelajah pulau-pulau di wilayah administratif kelurahan Pulau Untung Jawa.
Pulau ini masih berkecamatan di Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Sama seperti Pulau Kelor, Cipir, Onrust dan Rambut.
Paket wisata yang disediakan pun beragam seperti: Jelajah Benteng Martello di Pulau Kelor, Wisata sejarah dan arkeologi di Pulau Onrust dan Pulau Cipir, serta Jelajah Burung Bluwok di Pulau Rambut.
Sejatinya, pada abad ke-17 sampai masa pemerintahan kolonialinme Hindia-Belanda, pulau-pulau itu berada dalam kuasa VOC. Pulau Amiterdam bersama dengan Pulau Purmerend (Pulau Bidadari), Pulau Kherkof (Pulau Kelor), Pulau Kuiper (Pulau Cipir/Khayangan), dan Pulau Onrust (Pulau Kapal/Pulau Sibuk) semua dalam kuasa Belanda. Tujuannya, sebagai basis pertahanan terdepan akibat memuncaknya ancaman dari Banten dan Inggris.
Baca Juga: Black Pearl dan Cerita Bilalu dari Untung Jawa
Baca Juga: Bangkai-Bangkai Kapal Kepulauan Seribu, Dunia Lain yang Masyhur
Baca Juga: Pulau Ayer, Wisata Kepulauan Seribu yang Sangat Dekat dari Ancol
Baca Juga: Pengamatan Terbaru: Masih Ada Burung Terancam Punah di Teluk Jakarta
Kini, Pulau Kelor, Pulau Cipir dan Pulau Onrust menjadi bagian dari Museum Taman Arkeologi Onrust di bawah pengelolaan UP. Museum Kebaharian Jakarta. Ketiga pulau ini merupakan saksi sejarah bagaimana Nusantara berhadapan langsung dengan kolonialisme Belanda.
Di pulau-pulau ini, VOC menggalang kekuatannya. Bagaimana VOC bisa menguasai gugusan pulau tersebut, tidak lain karena Pangeran Jayakartalah yang memberikan izinnya. Keputusan Pangeran Jayakarta ini malah menjadi awal jatuhnya kekuasaan Jayakarta. Perputaran nasib pun terjadi. Batavia dikuasai oleh VOC.
Menginjakkan tanah di tiga pulau ini membawa kesan tersendiri bagi kami. Seolah keriuhan masa lampau berputar di dalam bayangan. Bekas reruntuhan Benteng Martello di Pulau Kelor yang dibangun pada 1850, sebagai bagian dari sistem pertahanan laut kota Batavia.
Sisa-sisa bangunan bekas asrama haji, pemakaman, dan penjara orang-orang jerman serta tawanan pemberontakan awak kapal De Zeven Provincien. Tidak lepas pada Pulau Cipir, bekas reruntuhan rumah sakit pada 1911 masih terpampang nyata.
Seperti lorong waktu, kami terhisap dalam cuplikan-cuplikan masa lalu. Kami menyelusup pelan ke dalam rombongan pengunjung yang sedang mendengarkan pemandu wisatanya bercerita. Mereka datang dari pelabuhan Tanjung Pasir, Tangerang dan Muara Kamal, Jakarta Utara.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR