Nationalgeographic.co.id—Para ilmuwan fisika di NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika Serikat menemukan dampak parah perubahan iklim bagi lautan. Mereka menunjukkan ada gelombang panas yang akan menghantam dasar lautan Bumi.
Menurut mereka, itu bisa menjadi masalah besar bagi makhluk hidup di dasar lautan. Dan apa yang disebut "gelombang panas dasar laut" ini dapat menghancurkan karena bertahan lebih lama daripada gelombang panas permukaan.
Gelombang panas ini dapat memengaruhi banyak spesies utama, seperti lobster dan ikan kod. Temuan tersebut telah dijelaskan di Nature Communications baru-baru ini dengan judul "Bottom marine heatwaves along the continental shelves of North America."
Perlu diketahui, bahwa sudah lama diketahui bahwa lonjakan suhu air permukaan dapat merusak ekosistem laut. Misalnya, dari tahun 2013 hingga 2016, perairan permukaan Samudra Pasifik di sepanjang garis pantai Amerika Utara menghangat dalam fenomena yang dijuluki "gumpalan".
Peristiwa itu telah menyebabkan kematian 1 juta burung laut karena sumber makanan utama mereka (ikan) terdampak parah. Dan sekarang, sesuatu yang serupa meresap di perairan yang lebih dalam.
"Ini adalah fenomena global," kata penulis utama Dillon Amaya, seorang ilmuwan riset di Laboratorium Ilmu Fisika NOAA di Boulder, Colorado, mengatakan kepada Live Science.
"Kami melihat gelombang panas laut (dasar) terjadi di sekitar Australia dan di tempat-tempat seperti laut Mediterania dan Tasmania. Ini bukan sesuatu yang unik di Amerika Utara."
Lautan telah menyerap sekitar 90% kelebihan panas dari pemanasan global akibat perubahan iklim. Ini telah menyebabkan peningkatan sekitar 1,8 derajat Fahrenheit (1 derajat Celsius) selama 100 tahun terakhir, menurut NASA.
Kenaikan ini telah menghasilkan peningkatan 50% gelombang panas permukaan laut dalam dekade terakhir, kata para peneliti dalam sebuah pernyataan.
Tetapi para ilmuwan tidak memiliki gambaran yang jelas tentang bagaimana kedalaman lautan merespons ketika suhu permukaan melonjak.
Untuk memahami bagaimana perubahan suhu atmosfer memengaruhi dasar laut, para ilmuwan menggunakan pengukuran yang ada untuk mensimulasikan kondisi atmosfer dan arus laut untuk "mengisi kekosongan" ekosistem dasar laut yang sulit diakses.
Ekosistem ini sering dihuni oleh lobster, scallop, flounder, cod, dan makhluk lain yang ditangkap secara komersial, menurut pernyataan tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa di sepanjang landas kontinen dekat Amerika Utara, gelombang panas dasar laut bertahan lebih lama daripada gelombang serupa di permukaan.
Mereka juga menemukan bahwa fluktuasi suhu ini dapat terjadi secara bersamaan di permukaan dan dasar laut di lokasi yang sama dan paling umum terjadi di daerah dangkal di mana air dari tingkat yang berbeda dapat berbaur, menurut penelitian tersebut.
Suhu air bawah yang hangat sebelumnya telah dikaitkan dengan peningkatan populasi lionfish invasif dan pemutihan karang, menurut pernyataan itu.
Para ilmuwan belum memiliki gambaran yang cukup baik untuk memprediksi kapan dan di mana gelombang panas dasar laut tersebut akan terjadi.
Baca Juga: Es Laut Akan Segera Menghilang dari Kutub Utara Selama Musim Panas
Baca Juga: Ilmuwan PBB Peringatkan Dunia Harus Segera Hentikan
Baca Juga: Apakah Ada yang Menikmati Keuntungan Akibat Perubahan Iklim?
Baca Juga: Singkap Tanda Peringatan Runtuhnya Lapisan Es Antarktika di Masa Depan
Tapi "kami memiliki beberapa hipotesis tentang mengapa hal ini terjadi," kata Amaya.
"Salah satu penggerak dinamis dapat berupa perubahan arus laut. Misalnya, di Pantai Timur AS, sistem pesisir didominasi oleh aliran teluk, yang merupakan arus air hangat, dan variabilitasnya benar-benar dapat mengubah suhu dasar air."
Faktor potensial lainnya adalah upwelling, atau naiknya air yang lebih dingin dan lebih dalam ke atas kolom air.
"Misalnya, di sepanjang Pantai Barat AS ada banyak air dingin dan kaya nutrisi yang berasal dari kedalaman dan dapat mengalir di sepanjang landas kontinen," kata mereka.
"Dan setiap perubahan laju upwelling dapat dilihat sebagai perubahan suhu di bawah permukaan sepanjang landas kontinen."
Source | : | NOAA,Nature Communications |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR