Nationalgeographic.co.id—Restorasi yang dilakukan menggunakan teknik paling canggih di Hagia Sophia yang terkenal di Istanbul, telah memberikan contoh jelas bagi dunia untuk melihat sebuah karya dengan presisi yang luar biasa.
Direktorat Kebudayaan dan Pariwisata dalam sejumlah kesempatan menyatakan, bahwa restorasi yang pernah dilakukan terhadap Hagia Sophia benar-benar mampu menjaga warisan budaya dari berbagai kepercayaan dan peradaban tetap utuh.
Hagia Sophia telah melalui perjalanan panjang dan menjadi saksi sejarah. Setelah dibangun sebagai gereja katedral Kristen Orthodok, Hagia Sophia telah menjadi saksi upacara penobatan Kekaisaran Romawi hingga berbagai upacara penting pada periode Kekaisaran Ottoman atau Kesultanan Utsmaniyah.
Selama masa itu, ada banyak pergolakan politik, sosial dan budaya. Termasuk bencana alam seperti gempa bumi besar, kebakaran dan bencana lainnya. Hagia Sophia rusak parah tidak hanya karena bencana alam, tapi pada perang Salib Keempat, Tentara Salib juga menjarah dan merusak gereja terbesar tersebut.
Tidak hanya itu, Aysegul Elif Sofuoglu, pemandu profesional dan peneliti sejarah Istanbul mengatakan, kebangkrutan Bizantium juga telah memperparah kondisi tersebut.
Sehingga saat penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Mehmed II atau yang lebih dikenal dengan nama Muhammad al Fatih, Hagia Sophia tidak dalam kondisi baik. Hal itu merujuk pada kekecewaan "sang penakluk" atas kondisi kota yang bobrok.
Muhammad al Fatih bahkan pernah mengungkapkan kesedihannya setelah kota yang benar-benar bobrok saat ia memasuki kota Romawi kuno tersebut setelah berakhirnya pengepungan berdarah.
“Ada keluhan ke istana Ottoman bahwa keseimbangan statis Hagia Sophia rusak parah. Akibatnya, istana memutuskan untuk mengimplementasikan proyek restorasi yang komprehensif,” kata Sofuoglu.
Menurut banyak ahli, jika penguasa Ottoman tidak turun tangan, Hagia Sophia tidak akan bertahan lama. Bahkan, Hagia Sophia bisa jadi tinggal nama dan menjadi cerita bagi generasi berikutnya.
Pada abad ke-16, Ottoman menugaskan kepala arsitek mereka Sinan, arsitek paling terampil di era Ottoman. Sinan diberi tugas membentengi tembok megah Hagia Sophia dan memastikan kubahnya dapat berdiri kokoh selama berabad-abad yang akan datang.
“Untuk memastikan keawetan bangunan (Hagia Sophia) yang sekelilingnya dirancang untuk makam Sultan Selim II, putra Suleiman yang Agung, dan keluarganya, Arsitek Sinan segera menambahkan penyangga besar di sekitar Hagia Sophia,” kata Hayri Fehmi Yilmaz, seorang sejarawan seni Turki kepada TRT World.
“Beberapa penopang ini juga dibangun pada zaman Byzantium. Tapi kami memahami bahwa kubah Hagia Sophia memberi tekanan luar biasa pada sisa struktur, jadi Sinan menempatkan penyangga batu di sekitar bangunan untuk meringankan bebannya."
Ia mengatakan, Sinan bahkan bereksperimen dengan teknik penyangga layang, yang umum dalam arsitektur Eropa, di Sayap Timur Hagia Sophia.
Sinan juga memperbaiki beberapa elemen lain di dalam bangunan termasuk menara, mihrab, mimbar, dan lantai dan menggabungkannya dengan seni Ottoman.
Struktur Hagia Sophia juga diperkokoh dengan membangun enam menara dan menambahkan setengah kubah pada bagian timur dan barat bangunan. Ia juga memasang tali baja di sekitar bangunan untuk menahan gempa bumi.
"Ini jelas menunjukkan upaya yang intens untuk benar-benar memperbaikinya," katanya.
"Tanpa intervensi penting Sinan, Hagia Sophia dan struktur pelengkapnya mungkin tidak akan sampai ke era sekarang."
Yasin Karabacak, seorang peneliti Turki yang juga menulis buku tentang Hagia Sophia mengatakan kepada Hurriyet Daily, setelah perbaikan yang dilakukan Sinan, hampir tidak diperlukan lagi perbaikan setelahnya.
"Meskipun kubah besar Hagia Sophia (hampir) runtuh dan membutuhkan beberapa renovasi akibat keruntuhan sebagian di masa sebelum Ottoman, selama era Ottoman dan setelahnya, kami tidak melihat (lagi) kebutuhan jangka panjang untuk perbaikan. Alasan utamanya adalah Arsitek Sinan,” katanya.
"Ketika Anda memperhatikan menaranya secara khusus, Anda dapat dengan jelas melihat tujuannya untuk mendukung bangunan dengan kehadirannya yang kuat."
Padahal, selama karir luar biasanya, Sinan sebenarnya dikenal sangat menyukai menara tipis yang dibangun secara estetis. Namun demi menyelamatkan struktur megahnya, dia memilih daya tahan daripada selera estetisnya dan membangun menara tebal di Sayap Barat Hagia Sophia.
Dua menara lainnya di Sayap Timur Hagia Sophia dibangun pada periode yang berbeda oleh pembangun yang berbeda, menurut sebagian besar ahli.
Baca Juga: Dari Sebuah Tabir Mimpi, Hagia Sophia yang Menawan Mulai Berdiri
Baca Juga: Mengapa Kekaisaran Ottoman Mengubah Hagia Sophia Menjadi Masjid?
Baca Juga: Goresan Sejarah Hagia Sophia, Satu Kubah yang Menaungi Tiga Agama
Baca Juga: Hagia Sophia, Wajah Harmoni Peradaban Umat Manusia dalam Budaya Turki
“Dasar menara (di Sayap Barat Hagia Sophia) jauh lebih besar daripada dasar menara masjid lainnya. Di Masjid Sultanahmet di seberang Hagia Sophia, Anda tidak akan melihat blok-blok berat sebanyak ini di dasar menaranya," kata para peneliti.
"Itu menunjukkan Sinan bahkan juga ingin menggunakan menara sebagai penopang untuk menyangga bangunan."
Hasilnya, karya Sinan benar-benar bertahan hingga berabad-abad lamanya. Jika bukan karena restorasi yang dilakukannya, orang-orang bisa jadi hanya akan membicarakan reruntuhan Hagia Sophia saat ini.
Sinan lahir di Kayseri, sebuah kota di Anatolia tengah, pada akhir tahun 1490-an. Ada berbagai teori tentang asal-usulnya.
Beberapa sejarawan mengatakan dia adalah keturunan Yunani, beberapa mengatakan dia adalah orang Armenia, dan banyak yang lain mengatakan dia adalah seorang Albania atau seorang Turki Kristen dan bahwa dia masuk Islam dan akhirnya menetap di Istanbul, di mana dia dilatih sebagai seorang arsitek.
Sepanjang hidupnya, sang arsitek legendaris telah mengawasi proyek konstruksi besar-besaran di seluruh Kekaisaran Ottoman, dari Masjid Suleymaniye yang megah di Istanbul, hingga jembatan, karavan, madrasah, dan struktur lainnya. Dia merancang lebih dari 300 bangunan bersejarah.
Source | : | TRT World,Hurriyet Daily News |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR