Nationalgeographic.co.id—Cixi memasuki dunia kekaisaran kuno sebagai selir remaja. Ia dipilih oleh Kaisar Tiongkok karena kecantikan, sikapnya yang baik, dan bakat menyanyinya. Tapi siapa sangka jika dalam beberapa dekade, Cixi malah menjadi penguasa Kekaisaran Tiongkok? Bahkan ada yang berpendapat jika Selir Cixi merupakan pelopor gerakan feminisme di Tiongkok.
Dunia kuno yang didominasi oleh pria
Kekaisaran Tiongkok merupakan dunia yang didominasi laki-laki. Penuh dengan pusaran intrik, bunuh diri paksa, peracunan, dan perebutan takhta.
Oleh kasim, Cixi dikirim untuk melayani Kaisar Xianfeng. Tidak perlu menunggu lama, Cixi bukan saja menemani Kaisar Tiongkok, ia pun turut campur dalam politik.
Setelah kematian Kaisar Xianfeng, mantan selir itu memerintah atas nama ahli waris laki-laki muda — dari balik layar. Sebagai penguasa de facto Kekaisaran Tiongkok pada dekade terakhir Dinasti Qing, ia membangun negeri ajaib yang fantastis. Itu adalah Istana Musim Panas, kawasan luas danau berkilauan, taman mewah, dan paviliun kayu yang rumit di pinggiran ibu kota.
Bagi sebagian orang, mantan selir Cixi adalah pencuri kekayaan kekaisaran. Ia juga dituduh bertanggung jawab atas kekalahan memalukan Kekaisaran Tiongkok oleh Jepang pada 1895. Namun sebagian menganggapnya sebagai pelopor gerakan feminisme di tengah dunia kuno yang didominasi oleh pria.
Cixi, wanita berkemauan keras
Cixi, tampaknya telah mengundang interpretasi revisionis yang memandangnya sebagai seorang feminis. Setidaknya dalam konteks akhir abad ke-19, ketika wanita Tionghoa diperlakukan sedikit lebih baik daripada air liur.
“Sebagai wanita kuat di Kekaisaran Tiongkok, Cixi sering digambarkan haus kekuasaan dan tidak rasional,” tulis Jane Perlez di laman New York Times.
Kembali ke era pra-komunis, julukan perintis feminis bagi Cixi tampaknya cukup masuk akal. Pasalnya, ia memerintah selama hampir 50 tahun, sejak 1861 hingga kematiannya pada 1908. Bukan hanya memerintah belaka, ia menjadi pemimpin di budaya di mana seorang wanita seakan tidak ada harganya.
Seorang sejarawan Tiongkok, Jung Chang, mengevaluasi ulang Cixi dengan biografinya, Empress Dowager Cixi. Chang berpendapat bahwa Cixi membawa Tiongkok abad pertengahan ke zaman modern. Di bukunya itu, Chang menyebut Cixi sebagai negarawan yang luar biasa.
Namun bagi beberapa simpatisam, Chang terlalu murah hati dalam menggambarkan Cixi. Bagaimana mungkin ibu suri menciptakan terobosan ketika sebagian besar kariernya terutama untuk menjaga kelangsungan keluarga kekaisaran alih-alih rakyat?
Selain itu, Cixi merusak program reformasi yang berani yang dimulai oleh putra angkatnya, Kaisar Guangxu. Konon, Guangxu lebih menyukai monarki konstitusional, bukan monarki absolut.
Cixi juga mendukung pemberontakan Boxer, pemberontakan anti-asing, anti-Kristen yang sangat merugikan Kekaisaran Tiongkok. Kesalahan itu kemudian ia limpahkan pada penasehatnya.
Seorang cendekiawan Tiongkok, Zhang Hongjie, membahas Cixi dalam esainya tentang perempuan dan laki-laki Tionghoa yang berjuang melawan rintangan.
Dia berargumen bahwa Cixi terkendala oleh kurangnya pendidikan. Namun ia tetap layak diberi penghargaan karena mencoba menebus kesalahannya di akhir pemerintahannya. Tapi Zhang mengatakan potret positifnya hanya berdampak kecil dalam sejarah Tiongkok.
“Cixi masih berkarakter negatif,” ujar Zhang. Usahanya untuk melestarikan keluarga kekaisaran di atas segalanya menjadikannya ia bak seorang gangster alih-alih feminis.
“Dia memiliki salah satu pikiran politik yang paling kejam dan cerdas, dia seperti seorang gangster,” kata Jeremiah Jenne, seorang sejarawan di Istana Musim Panas.
Gaya hidup mewah di tengah bencana
Cixi membangun kembali Istana Musim Panas setelah tentara Eropa menjarah dan membakar aslinya. Istana itu dilengkapi dengan furnitur bertatahkan permata dan sutra yang berlebihan, dikatakan setara dengan Versailles.
Terlepas dari perenungan tentang Cixi, banyak yang tampaknya lebih tertarik dengan gaya hidupnya yang mewah. Turis berdatangan ke Istana Musim Panas untuk melihat apa yang tersisa dari hasil jarahan. Konon istana dan karya seni banyak yang memudar karena diabaikan oleh pengurus budaya Partai Komunis.
Perahu marmer menjadi favorit banyak pengunjung. Resmi dikenal sebagai Perahu Kemurnian dan Kemudahan, ini adalah sebuah paviliun kayu dua lantai dengan beranda lebar. Paviliun ini dibangun di sisi tepi danau dan dicat menyerupai marmer pucat.
Kurikulum sekolah resmi mengatakan Cixi mencuri dana dari angkatan laut kekaisaran untuk merenovasi pavilion itu. Itu dilakukan dua tahun sebelum pecahnya perang dengan Jepang. Karena pencuriannya, kata buku teks, Tiongkok kalah dalam pertempuran laut melawan Jepang pada 1894.
Baca Juga: Apakah Selir Kaisar Tiongkok Cixi Merupakan Pelopor Gerakan Feminisme?
Baca Juga: Mengapa Puyi, Kaisar Terakhir Tiongkok, Melepaskan Takhtanya?
Baca Juga: Kisah Revolusi 1911 yang Meluluhlantakkan Kekaisaran Tiongkok
Baca Juga: Ketika Kuku Panjang Menjadi Simbol Status di Zaman Kekaisaran Tiongkok
“Dia memiliki gaya hidup yang mahal dan Kekaisaran Tiongkok sedang mengalami bencana demi bencana,” tulis Perlez. Maka tidak heran jika banyak yang membencinya.
Bila Anda berkunjung ke toko suvenir, tidak ada gambar Cixi. Yang ada hanya beberapa potong sutra merah muda yang dihiasi kaligrafinya. Bahkan koin peringatan dengan potret Mao Zedong, gelang murah, teko teh, dan kipas tangan lebih mudah dijual daripada foto Cixi.
Konon tidak banyak yang menyukainya. Dalam sejarah, ia memiliki citra buruk dan itu akhirnya berpengaruh pada penjualan suvenir.
Benarkah Cixi seorang feminis?
Dalam dekade terakhir hidupnya, Cixi mencoba memoles citranya dengan membuat dirinya lebih mudah diakses, terutama oleh para diplomat Barat. Tetapi pada akhirnya, dia hampir tidak dapat mengatasi kesan bahwa ia lebih tertarik pada anjingnya, berkebun dan pakaian mewah, tulis Sterling Seagrave dalam biografinya Dragon Lady.
Di tahun-tahun terakhirnya, dia dikenal sebagai “Buddha tua”. Alih-alih sebagai pelopor gerakan feminisme di Tiongkok, Cixi dianggap membawa Dinasti Qing yang sudah bobrok menuju kehancuran. Tidak memberi contoh bagi wanita Tionghoa modern, politik Tiongkok tetap didominasi oleh kaum pria, sama seperti ribuan tahun yang lalu.
Source | : | New York Times |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR