Pemberontakan petani Donghak tahun 1894 memberi Tiongkok dan Jepang alasan untuk mengirim pasukan dalam jumlah besar ke Korea.
Perang Tiongkok-Jepang Pertama (1894–1895) terjadi terutama di tanah Korea dan berakhir dengan kekalahan Qing. Jepang menguasai tanah dan sumber daya alam Korea hingga akhir Perang Dunia II.
Kekaisaran Korea (1897–1910)
Hegemoni Tiongkok atas Korea berakhir dengan kekalahannya dalam Perang Tiongkok-Jepang Pertama. Dinasti Joseon berganti nama menjadi Kekaisaran Korea, tetapi sebenarnya telah jatuh di bawah kendali Jepang.
Kaisar Korea Gojong mengirim utusan ke Belanda pada bulan Juni 1907 untuk memprotes sikap agresif Jepang. Di saat yang sama, Residen Jenderal Jepang di Korea memaksa kaisar untuk melepaskan takhtanya.
Baca Juga: Kisah Raja Agung Sejong dari Kekaisaran Korea, si Pencipta Hangul
Baca Juga: Kisah Hidup nan Memilukan Deokhye, Putri Terakhir Kekaisaran Korea
Baca Juga: Kisah Jumeokbap, Nasi Kepal yang Jadi Simbol Demokrasi Korea Selatan
Baca Juga: Kisah Fanatisme Sepak Bola Korea, 'Son Heung-Min Adalah Segalanya'
Jepang menempatkan pejabatnya sendiri di cabang eksekutif dan yudikatif pemerintahan Kekaisaran Korea. Selain itu juga membubarkan militer Kekaisaran Korea dan menguasai polisi dan penjara.
Pendudukan Jepang dan kejatuhan Dinasti Joseon
Pada tahun 1910, Dinasti Joseon jatuh dan Jepang secara resmi menduduki Semenanjung Korea.
Menurut Perjanjian Aneksasi Jepang-Korea tahun 1910, Kaisar Korea menyerahkan semua otoritasnya kepada Kaisar Jepang. Kaisar Joseon terakhir, Yung-hui, menolak menandatangani perjanjian itu, tetapi Jepang memaksa Perdana Menteri Lee Wan-Yong untuk menandatangani menggantikan Kaisar.
Jepang memerintah Korea selama 35 tahun berikutnya sampai Jepang menyerah kepada sekutu pada akhir Perang Dunia II.
Selama 500 tahun berkuasa, Dinasti Joseon mengembangkan arsitektur dengan membangun istana-istana indah, penciptaan aksara Hangul, hingga mengembangkan militernya. Di sisi lain, mereka juga terus berjuang melawan invasi Jepang dan Tiongkok.
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR