Nationalgeographic.co.id—Di Kapel St. George di Kerajaan Inggris, ada makam seorang pangeran muda Etiopia. Bagaimana sejarahnya hingga pangeran dari Ethipioa dimakamkan di tempat yang berjarak 8.000 km dari rumahnya di Afrika?
Protes bermunculan menuntut agar Kerajaan Inggris mengembalikan jenazah pangeran muda itu. Di sini, Kerajaan Inggris pun diminta melihat kembali ke sejarah kolonialnya di masa lalu.
Sejarah Pangeran dari Etiopia yang dibawa ke Kerajaan Inggris
Pangeran Dejatch Alemayehu adalah pewaris takhta Abyssinia — sekarang dikenal sebagai Etiopia. Pada tahun 1868, ayahnya, Raja Tewodros II, terlibat dalam perang dengan pasukan Inggris. Nyawanya melayang selama Pertempuran Magdala.
“Karena kegigihannya melawan pasukan Kerajaan Inggris, Raja Tewodros II diangkat menjadi pahlawan nasional,” tulis Adela Suliman di laman The Washington Post.
Putranya Alemayehu dibawa ke Britania Raya oleh pasukan Inggris. Ibunya, yang turut serta, meninggal dalam perjalanan. Otomatis, Alemayehu menjadi yatim piatu ketika dia tiba di pantai Inggris pada usia 7 tahun.
Dia ditempatkan di bawah asuhan perwira tentara Inggris Tristam Charles Sawyer Speedy. Sang perwira membawanya bepergian ke India dan kemudian mendaftarkan pemuda kerajaan Afrika di sekolah berasrama Inggris yang bergengsi. Salah satunya adalah perguruan tinggi militer Rugby dan Sandhurst.
Pangeran Alemayehu yang disukai oleh Ratu Victoria
Penguasa Kerajaan Inggris pada saat itu, Ratu Victoria, segera menyukai Alemayehu setelah bertemu dengannya. Segera, sang ratu membiayai pendidikannya dan mendukungnya secara finansial.
“Ratu Victoria sangat tertarik pada anak itu,” menurut arsip Britain's Royal Collection Trust. Menurut catatan sejarah, itu menyebabkan ketertarikan publik yang besar pada pangeran yatim piatu dari negeri nan jauh.
Cucu perempuan Victoria, Putri Victoria, bahkan ingat bermain dengannya di Kastel Windsor saat masih kecil.
Namun terlepas dari kehidupan yang istimewa, menurut banyak catatan sejarah, Alemayehu muda menghadapi masa yang menyedihkan di Inggris. Sejarawan mengatakan bahwa dia sangat tidak bahagia di Rugby dan Sandhurst. Bahkan pangeran muda itu menghadapi rasisme. Permohonannya untuk dipulangkan pun diabaikan oleh Kerajaan Inggris.
Source | : | The Washington Post |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR