Nationalgeographic.co.id—Yakuza, juga disebut boryokudan atau gokudo, adalah gangster Jepang. Di Kekaisaran Jepang dan di tempat lain, istilah yakuza merujuk pada gangster dengan kelompok dan kejahatan yang terorganisir.
Yakuza mengadopsi ritual seperti samurai dan sering memiliki tato tubuh yang rumit. Namun apakah ini menunjukkan bahwa asal-usul mereka bisa ditelusuri dari samurai?
Yakuza kerap terlibat dalam pemerasan, penyelundupan, prostitusi, perdagangan narkoba, perjudian, lintah darat, dan kejahatan lainnya.
Mengutip dari laman Britannica, yakuza mengendalikan banyak restoran, bar, perusahaan angkutan truk, agen pencari bakat, armada taksi, dan pabrik. Mereka juga terlibat dalam kegiatan kriminal di seluruh dunia.
Benarkah yakuza berasal dari kelas samurai?
Kata yakuza (tidak berguna) diyakini berasal dari tangan yang tidak berharga dalam permainan kartu Jepang yang mirip dengan baccarat atau blackjack: kartu ya-ku-sa (delapan-sembilan-tiga). Bila ketiga kartu itu dijumlahkan, maka akan memberikan total kemungkinan terburuk.
Asal usul yakuza sendiri sulit ditentukan. Ada banyak perkiraan soal asal mereka.
Pertama, yakuza diperkirakan berasal dari gerombolan ronin (samurai tak bertuan) yang berubah menjadi bandit di abad ke-17. Yakuza membawa pedang seperti samurai, juga meniru struktur hirarki yang dimiliki oleh samurai. Namun bukan berarti itu menunjukkan bahwa yakuza berasal dari kelas samurai.
Silsilah mereka juga dapat ditelusuri ke kelompok penipu dan penjudi di periode feodal Jepang.
Yakuza di era Keshogunan Tokugawa
Yakuza berasal dari era Keshogunan Tokugawa (1603 - 1868) dengan dua kelompok orang buangan yang terpisah. Yang pertama dari kelompok itu adalah tekiya, pengembara yang berkeliling dari desa ke desa. Kelompok ini menjual barang-barang berkualitas rendah di festival dan pasar.
Banyak tekiya berasa dari kelas sosial burakumin, sekelompok orang buangan. Kelompok buangan ini sebenarnya berada di bawah struktur sosial feodal Jepang bertingkat empat, mirip dengan kasta dalit di India.
Source | : | thought.co |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR