Meskipun perluasan vaksinasi terhadap ternak berkontribusi pada perolehan 'pencapaian' ini, tidak boleh diabaikan bahwa pada saat yang sama, pemusnahan anjing liar disertai dengan kematian banyak anjing liar.
Setelah pecahnya Perang Tiongkok-Jepang, terjadi perubahan dalam kebijakan pengendalian rabies Jepang. Perang menjadikan anjing sebagai sumber daya militer yang penting sebagai penyedia anjing perang dan bulu. Dengan latar belakang tersebut, anjing direpresentasikan dan disebut sebagai warga negara kedua yang setia melayani militerisme.
"Selama masa perang, Kekaisaran Jepang mendorong orang untuk menyumbangkan anjing mereka ke militer sehingga bulu mereka dapat digunakan untuk membuat mantel militer, dan atas nama program pencegahan rabies yang ada, target pemusnahan anjing liar diperluas dari untuk anjing liar ke semua anjing non-militer," tulis Huang.
Bagi para anjing di Jepang, kebijakan dari Kekaisaran Jepang itu berarti kematian mereka. Tidak termasuk anjing yang dipilih untuk dinas militer karena kekurangan makanan di masa perang dan pertahanan udara, semua anjing, baik domestik maupun liar, harus dihancurkan di tengah kebuntuan antara penyebab kesehatan masyarakat yang disebut pencegahan rabies dan ideologi militeristik di masa perang.
Menurut Huang, kebijakan ini menciptakan struktur diskriminasi antara anjing peliharaan dan anjing liar, kemudian antara anjing militer dan anjing non-militer.
Jadi, kebijakan politis untuk memusnahkan seluruh anjing non-militer dengan dalih mencegah rabies ini perlu diwaspadai agar tak terjadi lagi ke depannya.
Selain kebijakan diskriminasi terhadap anjing, penyakit anjing gila itu sendiri juga harus diwaspadai. Masyarakat dunia harus paham cara mencegah rabies dan cara pertolongan pertama terhadap kasus gigitan yang berpotensi menularkan rabies.
Khusus di Indonesia, saat ini setidaknya ada 26 provinsi yang menjadi endemi rabies. Hanya ada 11 provinsi yang bebas rabies, yakni Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Papua, Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.
Karena begitu bahayanya penyakit anjing gila atau rabies ini, masyarakat Indonesia diharapkan bisa menerapkan sikap waspada dan bersegera untuk melakukan pertolongan pertama saat digigit hewan penular rabies.
Pertolongan pertama yang bisa dilakukan adala mencuci luka gigitan dengan sabun/detergen pada air mengalir selama 15 menit dan memberikan antiseptik atau sejenisnya.
Setelah itu, masyarakat juga perlu segera melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan terdekat untuk kembali melakukan pencucian luka dan mendapatkan vaksin antirabies (VAR) dan serum antirabies (SAR). Sebab, kematian akibat rabies sebagian besar diakibatkan terlambat dibawa ke fasilitas kesehatan.
Source | : | Kemenkes RI,Korean Journal of Medical History |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR