Nationalgeographic.co.id—Ternyata sebagian prajurit samurai Kekaisaran Jepang diam-diam memeluk agama Kristen. Setidaknya 48 bagian penjaga pedang yang digunakan oleh prajurit samurai Kekaisaran Jepang selama era feodal telah mengonfirmasi hal itu.
Artefak-artefak tersebut terkait dengan sejarah awal abad ke-16 dan ke-17 Jepang. Pada masa ini di wilayah Kekaisaran Jepang terjadi penganiayaan terhadap orang-orang Kristen dan Pemberontakan Shimabara, pemberontakan petani Kristen Katolik.
Menurut The Asahi Shimbun, museum Sawada Miki Kinenkan di Prefektur Kanagawa, memiliki 367 bagian penjaga pedang. Benda-benda kuno ini kemudian diperiksa oleh Yuhiko Nakanishi, ketua kelompok nirlaba Nihon Token Hozon Kai (Asosiasi Pelestarian Pedang Jepang), dan para peneliti lain.
Hasilnya, seperti dikutip oleh Ancient Origins, 48 logam penjaga pedang itu diidentifikasi sebagai milik orang Kristen. Penelitian ini memakan waktu enam bulan, dan hasilnya telah dipresentasikan.
Museum Sawada Miki Kinenkan mengklaim bahwa barang-barang yang kembali dipajang di museum itu diduga milik orang Kristen. Namun, penemuan oleh tim Nakanishi memberikan bukti penting yang membenarkan legenda tentang samurai Kristen.
Penemuan ini sangat langka karena kebijakan anti-Kristen di Kekaisaran Jepang saat itu. Kebijakan tersebut menyebabkan umat Kristen menyembunyikan agama mereka selama berabad-abad.
Menurut analisis tim peneliti, lebih dari 10 metal penjaga pedang dibuat selama periode Sengoku (Negara Berperang) (1467-1568). Pedang lain diyakini diciptakan setelah dominasi Toyotomi Hideyoshi (1537-1598). Benda-benda kuno ini juga digunakan setelah kebijakan anti-Kristen.
Simbol-simbol yang ditemukan oleh Nakanashi, yang membuktikan keberadaan samurai Kristen, antara lain adalah salib Kristen yang disembunyikan dengan hati-hati dalam desain mereka.
Selama kebijakan anti-Kristen Jepang, orang-orang Kristen juga diketahui menggambar salib pada banyak benda, seperti patung Buddha dan artefak lainnya. Tujuan mereka adalah untuk mewujudkan keberadaan agama rahasia mereka, yang coba dibasmi oleh elite penguasa.
Keberadaan samurai Kristen pernah juga diulas dalam buku berjudul Christ's Samurai: The True Story of the Shimabara Rebellion. Buku ini ditulis oleh oleh Jonathan Clements, Profesor Tamu di Xi'an Jiaotong University di Tiongkok.
Dalam buku itu, penulis menggambarkan nasib sulit umat Kristen di abad ke-17. Kekristenan di Jepang memiliki tradisi yang sangat tua, tetapi selama berabad-abad orang Jepang tidak diperbolehkan mengikuti jalan Kristen, yang secara resmi dinyatakan ilegal pada tahun 1614 oleh Shogun Tokugawa Ieyasu.
Orang-orang Kristen dicap dengan besi panas, disalibkan dan dicelupkan berulang kali ke dalam air mendidih untuk menghukum mereka karena menjadi bagian dari pemberontakan. Salah satu tempat penyiksaan yang terkenal adalah kastel Shimabara.
Clements menulis dalam pengantar bukunya, "Pada tahun 1638, penguasa Jepang memerintahkan perang salib melawan rakyatnya sendiri, pembantaian terhadap pria, wanita, dan anak-anak dari kultus hari kiamat...."
Clements menggambarkan dalam bukunya sebuah kisah tentang seorang wanita hamil, yang dikurung dalam sangkar terendam yang menyebabkan kematian ibu dan bayinya. Peristiwa ini mungkin memicu Pemberontakan Shimabara, yang berlangsung dari 17 Desember 1637 hingga 15 April 1638, pada masa pemerintahan bakufu Edo, pemerintahan militer Jepang feodal terakhir.
Pasukan shogun membantai ribuan orang Kristen. Pemimpin pemberontak adalah Jerome Amakusa, yang hingga kini tetap menjadi ikon kekristenan Jepang.
Pada Januari 2016, Paus Francis menyetujui beatifikasi Takayama Ukon, seorang samurai Jepang. Ia lahir pada tahun 1552, dan dibaptis pada usia 12 tahun.
Takayama Ukon adalah seorang daimyo, anggota kelas penguasa feodal, yang menduduki peringkat kedua setelah shogun di Jepang abad pertengahan dan awal modern. Pada tahun 1587, ketika Hideyoshi memulai penganiayaan terhadap orang Kristen, Takayama dan ayahnya malah memilih untuk meninggalkan harta benda dan kehormatan mereka untuk mempertahankan keyakinan.
Takayama Ukon kemudian diasingkan ke Manila pada tahun 1614, dengan sekelompok 300 umat Katolik. Dia meninggal di sana karena penyakit pada tanggal 5 Februari 1615.
Pada tahun 2007 Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa 188 orang Kristen Jepang yang meninggal akibat penganiayaan oleh pemerintah Tokugawa dipilih untuk dibeatifikasi. Upacara itu diadakan setahun kemudian di Nagasaki, Jepang.
Source | : | Ancient Origins |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR