Nationalgeographic.co.id—Sejarah kehidupan samurai Kekaisaran Jepang menyimpan banyak pelajaran yang bisa kita petik hikmahnya. Sejarah mencatat samurai Kekaisaran Jepang adalah salah satu satu kelompok prajurit terbaik di dunia pada masanya.
Para samurai Kekaisaran Jepang bertempur dengan alat-alat yang konvensional, belum melibatkan mesin tempur atau senjata elektronik. Meski demikian, para samurai mampu mengerahkan kemampuan terbaik mereka sehingga bisa menjadi prajurit terbaik.
Eric Barker, penulis buku Barking Up the Wrong Tree: The Surprising Science Behind Why Everything You Know About Success Is (Mostly) Wrong, mengaku telah membaca banyak buku terkait kehidupan para samurai Kekaisaran Jepang.
Dalam tulisannya di TIME, Barker membuat ikhtisar mengenai rahasia sukses kehidupan para samurai Kekaisaran Jepang sehingga mereka bisa menjadi prajurit tempur terbaik. Menurut hasil pembacaan Barker, rahasia atau kunci kesuksesan para samura agar bisa memberi kinerja yang terbaik adalah "menjadi tenang."
Tenang di sini berarti mampu menenangkan dan mengendalikan pikiran sendiri saat bertempur. Barker mengutip perkataan atau tulisan beberapa samurai mengenai ketenangan yang menjadi kunci sukses ini.
Seorang samurai Shiba Yoshimasa (1349-1410) misalnya pernah menulis, "Untuk prajurit khususnya, jika Anda menenangkan pikiran Anda sendiri dan memahami pikiran batin orang lain, itu bisa disebut seni perang yang paling utama."
Samurai Kekaisaran Jepang lainnya yang bernama Suzuki Shosan (1579-1655) pernah menulis, "Ketika Anda berhasil mengatasi pikiran Anda sendiri, Anda mengatasi banyak kekhawatiran, mengatasi segalanya, dan bebas. Ketika Anda dikuasai oleh pikiran Anda sendiri, Anda dibebani oleh segudang kekhawatiran, tunduk pada semua hal itu, tidak mampu mengatasinya."
“Jaga pikiran Anda; Jagalah dengan tegas. Karena pikiranlah yang membingungkan pikiran, jangan biarkan pikiran Anda menyerah pada pikiran Anda.”
Samurai lainnya yang bernama Kaibara Ekken (1630-1714) juga pernah menulis, "Seorang pria mulia mengendalikan kesembronoan dengan gravitasi, menunggu tindakan dalam keadaan tenang. Penting agar jiwa utuh, suasana hati stabil, dan pikiran tidak bergerak."
Lalu samurai lain yang bernama Adachi Masahiro (1780-1800) pernah dengan tegas menyimpulkan, "Pikiran yang tenang adalah rahasia peperangan."
Barker tidak lupa juga mengutip tulisan Miyamoto Musashi, dalam karya klasiknya, The Book of Five Rings. Musashi yang dikenal mungkin sebagai samurai terhebat Kekaisaran Jepang pernah menyebut soal pentingnya ketenangan.
"Baik dalam pertempuran maupun dalam kehidupan sehari-hari Anda harus bertekad tetapi tetap tenang. Hadapi situasi tanpa ketegangan namun tidak ceroboh, spirit Anda tetap tenang namun tidak memihak."
Kita semua barangkali sudah tahu dan paham betul pentingnya ketenangan. Dengan berpikir dan bersikap tenang, Anda bisa berpikir jernih, Anda tidak membuat keputusan yang terburu-buru, dan Anda tidak takut.
Namun, bagaimana caranya supaya Anda bisa mendapatkan ketenangan dan tetap tenang? Ketenangan di era yang penuh dengan berita daring 24 jam dan umpan balik konten media sosial yang riuh?
Para samurai Kekaisaran Jepang ternyata punya jawabannya. Dan mereka sejalan dengan sains.
Samurai Kekaisaran Jepang tak hanya banyak berlatih seni bela diri. Mereka juga banyak berpikir tentang kematian.
Sungguh, mereka banyak berpikir tentang kematian. Dalam Code of the Samurai: A Contemporary Translation of the Bushido Shoshins tertulis, "Seseorang yang seharusnya menjadi seorang pejuang menganggap perhatian utamanya untuk mengingat kematian setiap saat, setiap hari dan setiap malam, dari pagi Hari Tahun Baru hingga malam Tahun Baru."
Pada prinsipinya, semua manusia akan mati. Dan secara khusus, kata kematian memang cukup banyak dalam deskripsi pekerjaan samurai Kekaisaran Jepang.
Mengingat mati ini penting. Sebab, penelitian menunjukkan bahwa berlatih sangat keras dan membayangkan hal terburuk yang bisa terjadi adalah dua teknik ampuh untuk meningkatkan ketenangan.
Samurai berlatih tanpa henti. Mereka sangat percaya bahwa Anda harus selalu "bersiap".
Penelitian menunjukkan bahwa persiapan mengurangi rasa takut karena ketika keadaan menjadi tegang, Anda tidak perlu berpikir.
Siapa yang selamat dari skenario terburuk macam risiko kematian dalam kondisi seperti pertempuran samurai? Orang-orang yang telah mempersiapkannya.
Dalam buku You Are Not So Smart, David McRaney pernah menulis, "Menurut Johnson dan Leach, jenis orang yang selamat adalah jenis orang yang bersiap menghadapi yang terburuk dan berlatih jauh-jauh hari."
Menurut Barke, benar-benar memikirkan betapa buruknya hal-hal itu sering kali memiliki efek ironis yang membuat Anda sadar bahwa itu tidak seburuk itu.
Penelitian menunjukkan cara paling ampuh untuk melawan stres atau kecemasan— agar tetap tenang— adalah dengan memiliki perasaan yang terkendali.
Bagi samurai, berlatih tanpa lelah dan memvisualisasikan hal terburuk yang bisa terjadi, mampu memberi mereka perasaan terkendali saat berperang.
Tanpa rasa kendali, ketika stres menjadi tinggi, kita benar-benar tidak dapat berpikir jernih.
Saat diri tenang dan mempu berpikir jernih, Anda bisa berpikir cerdik dan memutuskan strategi terbaik. Misalnya strategi pertempuran bagi para samurai Kekaisaran Jepang.
Musashi pernah menulis, "Dalam pertempuran tunggal, juga, Anda harus mengambil keuntungan menakuti musuh secara tidak sadar dengan tubuh, pedang panjang, atau suara Anda, untuk mengalahkannya…"
"Dalam pertempuran tunggal, kami membuat seolah-olah menyabet dan berteriak 'Ei!' sekaligus untuk mengganggu musuh, maka di belakang teriakan kita kita tebas dengan pedang panjang," papar Musashi.
Cara ini terkesan licik. Namun, ini adalah jenis ide cerdas yang datang dari kepala dingin atau pikiran yang tenang.
Samurai Kekaisaran Jepang adalah pejuang yang hebat. Mereka berperang melawan musuh mereka dalam pertempuran epik.
Namun, pelajaran penting seperti yang dijelaskan Musashi dan samurai Kekaisaran Jepang lainnya dalam tulisan mereka tentang menjadi tenang, pertempuran terpenting adalah mengalahkan diri sendiri.
Source | : | Time |
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR