Metode Indiana Jones yang sering kali melibatkan penggunaan cambuk dan pistol, juga jelas tidak sesuai dengan dunia ilmu pengetahuan.
Tetapi "masalah yang lebih serius adalah bahwa dia adalah orang kulit putih yang mengeksotiskan, menganiaya, dan menggurui orang lokal dan Pribumi serta mencuri warisan budaya mereka," kata Pyburn.
Pyburn tentu saja buka satu-satunya arkeolog yang mengkritik kisah petualangan Indiana Jones tersebut. Shinatria Adhityatama, arkeolog di Griffith University, Australia, mengatakan bahwa cara kerja arkeolog memang berbeda dengan Indiana Jones.
Menurutnya, cara kerja arkeologi bawah laut sangat berbeda dengan apa yang digambarkan dalam film Indiana Jones yang saat ini sedang ditayangkan di layar lebar.
"Indy lebih seperti seorang penjarah kapal karam jika dibandingkan dengan seorang arkeolog," katanya kepada National Geographic Indonesia.
Namun, Adhityatama menambahkan bahwa perlu diingat bahwa konteks film Indiana Jones berlatar tahun 1940-an. Pada waktu itu etika arkeologi belum seketat sekarang dan masih banyak peneliti yang sekaligus pemburu barang antik, ungkapnya. "Dan kenyataannya banyak yang berlabel arkeolog juga melakukan [seperti] yang Indy lakukan. Buktinya, museum-museum di Eropa penuh dengan artefak jarahan."
Artefak Nyata
Meski demikian, Adhityatama merasa film Indiana Jones terbaru yang berjudul Dial of Destiny cukup menarik. Seri terbaru Indiana Jones ini mengangkat tentang artefak dari kapal karam bawah laut yang dikenal dengan mekanisme Antikythera.
Untuk diketahui, mekanisme Antikythera adalah artefak yang ditemukan di perairan Yunani sekitar tahun 1901.
"Temuan yang disebut sebagai cikal bakal kalkulator atau bahkan komputer ini sangat menarik untuk diangkat ke cerita fiksi seperti Indiana Jones," kata Adhityatama.
Sejak penemuan benda ini banyak sekali interpretasi, hingga dinilai benda ini terlalu "maju" untuk zamannya. "Maka tidak heran penulis skrip seri terbaru petualangan Indy ini menilai bahwa Antikythera merupakan sebuah alat mesin waktu. Walaupun, kenyataannya tidak seperti itu," Adhityatama menambahkan.
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR