“Tetapi kemudian orang melihat bahwa sesuatu itu menjadi penting kalau dia menjadi nadi ekonomi dan itu terjadi terutama yang meledak harganya itu [kopi] terutama tahun ‘60-an, ‘70-an, awal ‘80-an,” tutur Romo Inosensius.
Penghargaan orang Manggarai terhadap hasil bumi tak lepas dari pemahaman kosmologis. Orang Manggarai percaya, bahwa kehidupan ini awalnya kosong, yang ada hanya Mori Keraeng atau Tuhan, dengan anaknya yang bernama Nabit Alang yang artinya rahmat semesta.
Konon Nabit Alang memohon kepada sang ayah agar tubuhnya dijadikan lukisan alam semesta. Keinginannya ditolak dan ia dibunuh. Namun ajaibnya dari mata Nabit Alang tumbuhlah matahari, bulan dan bintang. Dari tubuhnya tumbuhlah semak dan hutan, dari darahnya itu tumbuh air dan laut. Lalu kemudian dari nadinya itu ada sungai-sungai, dari napasnya timbul angin.
Tulangnya jadi batu dan logam dan dari jantungnya muncullah dua manusia yang pertama, Welarunus yang berarti ibu kehidupan dan Kambulawang yang bermakna dia yang dirindukan. Dari paru-parunya muncul hewan dan beberapa tanaman yang dimakan oleh manusia.
Tanaman pangan padi, jagung dan sejenisnya memiliki kisah pengorbanan darah manusia. Maka orang Manggarai sangat menghormati berbagai jenis tanaman dengan berbagai ritual adat serta cara menyimpan benih tanaman yang penuh dengan rasa hormat.
Romo Inosensius ingat betul ayahnya baru menanam kopi sekitar 1950-an. Sedangkan lahan lain untuk tanaman pangan. Pada 1980-an, masih ada orang yang belum menanam keseluruhan tanahnya dengan kopi, termasuk keluarganya. “Karena kami ingin tanah kami itu masih ditanami dengan tanaman pangan, dengan demikian kami mempertahankan ritus,” Romo Inosensius mengenang.
Keadaan berubah setelah harga kopi meledak pada 1960-an dan kopi membawa kesejahteraan. Kopi pun menjadi simbol sentosa yang disandikan dengan rumah adat dalam istilah Manggarai disebut Peko, Pe adalah rumah dan Ko adalah kopi.
Terutama pada 1980-an, tanaman kopi sudah masuk dalam ritual. Keluarganya membuat ritual kopi pada 1979. “Berarti dia [kopi] dilihat sakral, penting,” ungkap Romo Inosensius.
Sejarah kopi di Manggarai memiliki berbagai versi. Warga Colol percaya kopi tumbuh sendiri sebagaimana disampaikan Tua Teno Dominikus Taluk. Kopi yang tumbuh pertama kali di sini adalah jenis robusta.
Jika menilik lini waktu perkopian di Flores, wilayah yang paling dahulu menanam dan resmi menjadi industri kopi adalah Hokeng, Flores Timur, pada 1920. Jenis kopi yang ditanam oleh insan gereja Katholik adalah robusta. Bisa jadi sebelum industrinya dibuka resmi, mereka sudah mulai uji coba menanam pada tahun-tahun sebelumnya.
Bukan mustahil penyebaran kopi ke seluruh Flores terjadi setelah era Hokeng. Baik disebar oleh romo-romo atau pastor-pastor yang membawa misi atau hewan seperti burung dan yang lain.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR