Nationalgeographic.co.id—Surabaya di awal abad ke-17, bukanlah sebuah negeri yang masyhur dalam catatan sejarah kolonial. Namun, namanya mulai melejit ketika negeri kecil ini mulai berseteru dengan Mataram di sepanjang pesisir Jawa.
Sejauh ini, Tome Pires telah memberi catatan tentang eksotisme kota-kota di pesisir Jawa, termasuk Gresik-Jaratan. Sepanjang pesisir Jawa, kota-kota maritim ini menjadi incaran beberapa nagari, termasuk nagari Surabaya.
Meskipun Tome Pires menyebut orang Surabaya mayoritas merupakan masyarakat agraris, mereka memiliki perahu-perahu militer. Kebiasaan hidup menjadi masyarakat pesisir Jawa, membuat mereka menjadi terampil untuk melakukan perompakan.
"Antara tahun 1599 dan 1601, Panarukan dan Blambangan dicaplok kekuasaannya oleh Surabaya," tulis M. A. P. Meilink-Roelofsz dalam bukunya yang dialihbahasakan berjudul Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara Antara 1500 dan Sekitar 1630 terbitan 2016.
Sebelumnya, Surabaya sudah getol meluaskan wilayahnya sampai ke kawasan Sedayu, Pasuruan, dan Gresik sejak abad ke-16. Namun, hal itu hanya membuat Surabaya terseret pada pusaran konflik dengan Mataram yang tengah melancarkan ekspansi ke kota-kota maritim pesisir Jawa.
Salah satu keberhasilan ekspansi Mataram ke pesisir Jawa, dapat tergambar dari eksotisme Jepara dalam catatan sejarah kolonial. H. J. De Graaf menjelaskan tentang suasana yang menyenangkan di Jepara yang terjadi pada abad ke-16 hingga abad ke-17.
Membangun persekutuan dengan VOC, Mataram mampu bermanuver dalam perluasan wilayah politiknya ke berbagai pesisir Jawa. Mereka juga mampu menyulap kota-kota di pesisir Jawa menjadi kota pelabuhan megah seperti Jepara.
Pasca restorasi yang dilakukan Mataram, pasar-pasar dagang di Jepara penuh dengan para pedagang asli (Jawa) atau yang datang dari Persia, Arab, Gujarat Cina, Koromandel, Aceh, Melayu, Peguana dan bangsa lainnya.
"Segala komoditas dari Asia dan benua lainnya, tampak dijual di sini," tambah De Graaf dalam bukunya berjudul Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung, terbitan 1986.
"Tembok sekelilingnya dalam keadaan baik, rumah-rumah dibangun dengan batu dan kapur, jalan, tembok, lapangan dan pemandangan di sekitarnya menarik. Menyenangkan sekali berkunjung ke sana," ungkapnya.
Berbagai keindahan lainnya, mendukung orang-orang Eropa yang datang ke pelabuhan Jepara. Tak hanya untuk berniaga, tetapi hanya sekadar berkunjung. Pemandangan yang paling mencolok adalah masjid besar dan nuansa Keislamannya yang kental.
Terlepas dari pesona Jepara, kini Gresik hingga Jaratan menjadi sasaran ekspansi Mataram, meskipun Surabaya sudah selangkah lebih maju dari mereka. Wajar saja, Gresik dan Jaratan sejak tahun 1599, telah dikuasai Raja Surabaya.
Sang Raja Surabaya menunjuk syahbandar khusus di Gresik maupun Jaratan. Lokasinya strategis karena menjadi tempat singgahnya banyak kapal berlabuh, sehingga perdagangan dapat berlangsung mapan.
Pasukan Mataram telah menyusun rencana untuk mendaratkan pasukannya, mengepung Surabaya dan ibu kota pelabuhan dagangnya di Gresik. Tercatat pada tahun 1623, pengepungan itu membuahkan hasil, di mana Mataram merebut Gresik dari Surabaya.
Terhitung 126 orang menjadi tahanan, di mana dua orang di antaranya adalah orang VOC. Alhasil, pasukan Mataram melepaskannya karena permintaan Raja Surabaya agar tidak menghukum orang Belanda.
Meskipun sudah berhasil mengeklaim Gresik dari genggaman Surabaya, Mataram masih memerlukan dukungan dari kompeni untuk melegitimasi kuasanya di kota pelabuhan nun ramai di pesisir Jawa itu.
Di satu sisi, Surabaya tidak dapat menerima begitu saja bahwa Gresik harus jatuh ke pelukan Mataram. Alhasil, di tahun 1624, Surabaya dan Mataram saling berlomba mencari dukungan kompeni VOC yang kedudukannya tengah kuat di Jawa.
Tak habis di situ, Mataram berupaya menyerbu Surabaya dengan segenap pasukannya. VOC tidak bergeming, "ia menjaga netralitasnya dengan ketat," sambung Meilink-Roelofsz dalam bukunya.
VOC di sisi lain, tidak ingin menjawab dan salah langkah dalam situasi politik yang mengeruh di Gresik. Pada akhirnya, kota pelabuhan yang ramai di pesisir Jawa, Gresik salah satunya, mengalami kemunduran.
Salah satu hal yang mendorong kemunduran Gresik ialah akibat adanya seteru antara Mataram dan Surabaya yang tak kunjung mereda. Mereka terus berseteru hingga memperebutkan Tuban yang juga strategis sebagai kota pelabuhan dagang.
Kuatnya kekuatan militer yang dibangun Sultan Agung, Mataram terus melakukan serangan yang menghancurkan bagi kubu Surabaya. Ekspansi politik Sultan Agung terus dilakukan ke wilayah timur hingga mencapai Madura.
Surabaya dan daerah-daerah di pantai timur laut pulau Jawa yang ditaklukkan tetap berada di tangan Mataram sampai mereka diserahkan ke Perusahaan Hindia Timur Belanda pasca Perang Jawa.
Peperangan dengan Surabaya ini mengakibatkan beberapa kerusakan, terutama di kota-kota maritim sepanjang pantai utara di kawasan pesisir Jawa. Pertempuran, penyakit, kelaparan, dan gangguan pertanian, menyebabkan banyak kematian.
Setelah penaklukan Mataram, Surabaya tidak lagi menjadi pelabuhan penting, akibat kehilangan dominasinya atas Jawa Timur. Penghancuran kota-kota pesisir memberikan kontribusi terhadap kemunduran perdagangan di kawasan pesisir Jawa.
Hutan Mikro Ala Jepang, Solusi Atasi Deforestasi yang Masih Saja Sulit Dibendung?
Source | : | Perdagangan Asia & Pengaruh Eropa di Nusantara (2016) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR