Nationalgeographic.co.id—Diogenes dari Sinope (hidup sekitar 202-323 SM) merupakan seorang filsuf mazhab Sinisme Yunani. Ia terkenal karena sering berjalan memegang lentera di depan wajah warga Athena dan menyatakan bahwa dirinya sedang mencari orang yang jujur.
“Ia menolak konsep ‘sopan santun’ karena [merupakan] sebuah kebohongan dan menganjurkan kejujuran sepenuhnya setiap saat dan dalam keadaan apa pun,” jelas Joshua J. Mark di laman World History.
Diogenes kemungkinan besar adalah murid dari filsuf Antisthenes (l. 445-365 SM, yang belajar dengan Socrates). Ia mendapat julukan dari Plato sebagai “Socrates yang menggila”.
Diogenes dikatakan telah disingkirkan dari kota asalnya Sinope, tetapi ia tidak pernah peduli. Ia berkata, “Rumahku adalah seluruh bumi, dan aku bisa tinggal di mana saja yang kusuka.”
Ia membuat rumah untuk dirinya sendiri di Athena. Alih-alih rumah pada umumnya, Diogenes tinggal di sebuah tong dan bertahan hidup dari hadiah para pengagumnya, mengais makanan, dan mengemis.
Joshua menjelaskan, "Pencarian orang jujur" yang terkenal dari Diogenes adalah caranya untuk membongkar kemunafikan dan kepalsuan konvensi masyarakat yang sopan.
“Dengan menyorotkan cahaya secara harfiah ke wajah orang-orang di siang bolong, ia memaksa mereka untuk mengakui partisipasi mereka dalam praktik-praktik yang menghalangi mereka untuk hidup dengan jujur,” jelas Joshua.
Sepanjang perjalanannya, Diogenes telah menginspirasi beberapa orang untuk mengikuti teladannya, terutama Crates dari Thebes.
Diogenes masih sangat dihormati hingga saat ini karena komitmennya terhadap kebenaran dan hidup sesuai dengan keyakinannya.
Keyakinan Diogenes
Antisthenes merupakan guru Diogenes ketika dirinya berada di Athena. Antisthenes merupakan salah satu dari sekian banyak murid Socrates yang mendirikan sekolahnya sendiri.
Awalnya, ia menolak Diogenes sebagai muridnya. Namun akhirnya ia luluh dengan kegigihannya dan kemudian menerimanya sebagai murid.
Seperti gurunya, Diogenes percaya pada pengendalian diri, pentingnya kualitas pribadi dalam perilaku seseorang, dan penolakan terhadap segala sesuatu yang dianggap tidak penting dalam hidup seperti harta benda dan status sosial.
Ia begitu bersemangat dalam keyakinannya sehingga memutuskan hidup secara terbuka di pasar Athena. Ia tinggal di sebuah tong anggur besar (beberapa sumber menyatakan bahwa itu adalah bak mandi yang ditinggalkan), tidak memiliki apa pun, dan tampaknya hidup dari belas kasihan orang lain.
Boleh jadi satu-satunya harta yang ia memiliki adalah sebuah cangkir yang juga berfungsi sebagai mangkuk untuk makanan. Namun ia membuangnya ketika melihat seorang anak laki-laki meminum air dari tangannya.
Melalui anak kecil tersebut, ia menyadari bahwa seseorang bahkan tidak membutuhkan cangkir untuk mempertahankan hidupnya.
Banyak orang yang mencurigai kebenaran kisah-kisah Diogenes. Menurut Joshua, hal ini dikarenakan banyaknya dongeng yang berkembang di sekitar Diogenes selama di Athena.
“Bahkan klaim bahwa dia adalah murid Antisthenes telah ditentang sebagai sebuah dongeng,” jelas Joshua. “Namun, tampaknya jelas bahwa Diogenes percaya apa yang disebut sebagai ‘sopan santun’ hanyalah kebohongan yang digunakan untuk menyembunyikan sifat asli seseorang.”
Ia dikenal karena kejujurannya yang brutal dalam percakapan, dan tidak memperhatikan etika apa pun terkait kelas sosial.
Ia juga tidak memiliki masalah dengan masturbasi di depan umum. Ia menyatakan bahwa kegiatan semacam itu normal dan semua orang melakukannya, tetapi menyembunyikannya.
Perilaku Diogenes ini sebagian didasari oleh keyakinan bahwa jika suatu tindakan tidak memalukan secara pribadi, maka tindakan tersebut seharusnya tidak memalukan di depan umum.
Menurut Diogenes, etika yang beredar di tengah masyarakat adalah buatan manusia yang tidak dapat membuat seseorang menjadi manusia yang baik dan layak.
Banyak orang yang menganggapnya sakit jiwa. Namun Diogenes mengklaim bahwa ia telah menjalani kehidupan yang sepenuhnya jujur.
Plato dan Alexander Agung
Karena menganggap tata krama dan etiket adalah kehidupan palsu di dunia mimpi, Diogenes meyakini hal itu tidak boleh dituruti. Dampaknya, ia sering menghina para atasan sosialnya, termasuk Plato dan Alexander Agung.
Suatu waktu, Plato mendefinisikan manusia sebagai "makhluk berkaki dua tak berbulu". Karena definisinya ini, ia mendapatkan pujian dari banyak orang.
Berbeda dengan Diogenes, alih-alih memuji ia malah membawa seekor ayam botak ke Akademi Plato, dan berkata, "Lihatlah, inilah manusia Plato."
Plato kemudian menambahkan "dengan kuku yang lebar dan rata" pada definisinya. Ini bukan pertama kali Diogenes menghina Plato di depan umum, tetapi ini adalah insiden yang paling terkenal.
Kisah lain datang dari Alexander Agung, salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah dunia. Pada suatu hari ia meluangkan waktunya untuk mengunjungi Diogenes.
Ia menemui filsuf Sinisme tersebut sedang bersantai di bawah sinar matahari. Alexander dengan murah hati kemudian menawarkan pilihan hadiah kepadanya. Namun dengan acuh Diogenes menjawab, “Menjauhlah dari matahariku.”
Alexander mengagumi semangatnya dan berkata, "Jika saya bukan Alexander, saya ingin menjadi Diogenes" dan Diogenes menjawab, "Jika saya bukan Diogenes, saya juga ingin menjadi Diogenes."
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR