Nationalgeographic.co.id—Setiap budaya dalam sejarah dunia memiliki tradisi dan ritual unik terkait dengan kematian dan orang mati. Salah satunya adalah kebudayaan Chincha. Dalam sejarah dunia, budaya Chincha pra-Columbus berlangsung selama Periode Menengah Akhir (900-1450 Masehi) di barat daya Peru.
Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa tengkorak nenek moyang dilukis menggunakan pigmen merah. Untuk melukis atau mewarnai tengkorak itu, mereka menggunakan jari.
“Sekitar tahun 1480 Masehi, kebudayaan Chincha menjadi bagian dari Kerajaan Inca,” ungkap Ashley Cowie di laman Ancient Origins. Garis keturunan mereka menghilang beberapa dekade setelah penaklukan Spanyol atas Peru dimulai pada tahun 1532 Masehi.
Sekarang, sebuah penelitian baru yang mengamati ratusan pecahan tengkorak dan artefak Chincha yang dicat merah. Penemuan itu menunjukkan bahwa tradisi itu mengikat orang hidup dengan orang mati. Selain itu, juga “melindungi secara spiritual” kuburan dari penjarahan.
Tradisi membentuk hubungan dekat dengan orang mati
Studi ini diterbitkan dalam Journal of Anthropological Archaeology edisi Maret 2023. Penulis pertama studi Jacob Bongers adalah seorang arkeolog antropologi di Universitas Boston. Ia mengungkapkan bahwa penelitian memerlukan analisis ratusan sisa-sisa manusia dan artefak yang ditemukan di Lembah Chincha di Peru selatan.
Tengkorak-tengkorak itu ditemukan di lebih dari 100 chullpa. Chullpa merupakan bangunan kamar mayat besar tempat seluruh keluarga dikuburkan. Bangunan ini mirip dengan mausoleum.
Semua sampel tulang dan artefak bertanggal antara tahun 1000 dan 1825 Masehi. Para ilmuwan menemukan bahwa orang-orang Chincha menghiasi tengkorak nenek moyang mereka dengan pigmen merah. Peneliti memperkirakan bahwa proses ini penting untuk membentuk hubungan dekat antara yang hidup dan yang mati.
“Lukisan jari sangat penting untuk membentuk hubungan erat antara orang hidup dan orang mati,” kata Bongers. “Pigmen merah itu sendiri menyoroti hubungan antara hidup dan mati serta perbedaan sosial untuk dilihat orang lain.”
Cat merah untuk menunjukkan hierarki
Namun, perbedaan individu yang mendapatkan cat merah dan tidak tampaknya menjadi indikator hierarki kelas.
“Pigmen merah berfungsi sebagai identifikasi sosial yang mewujudkan perbedaan di antara orang mati. Hal ini dibuktikan dengan relatif sedikitnya individu, kebanyakan orang dewasa dan laki-laki, yang memiliki pigmen,” tulis para peneliti dalam penelitian tersebut.
Momen transformasi orang yang meninggal
Orang Chincha melukis garis tebal vertikal dan horizontal pada tengkorak. Menurut peneliti, hal itu menunjukkan bahwa jari digunakan sebagai alat untuk menorehkan cat merah pada tengkorak.
Campuran cat merah yang berbeda digunakan untuk tengkorak yang berbeda. Peneliti berpendapat bahwa ritual itu mungkin dimaksudkan untuk memberikan “kehidupan sosial baru” kepada orang mati.
Ritual cat merah adalah momen penting transformasi menuju kehidupan lain dan transisi penting dari satu keadaan ke keadaan lain. Ritual ini memberikan dasar bagi kehidupan selanjutnya bagi orang yang meninggal.
Bahkan tengkorak memanjang pun dicat merah
Untuk sampai pada kesimpulan ini, para peneliti mengambil sampel pigmen merah dari 38 artefak dan tulang berbeda. “Termasuk 25 tengkorak manusia,” tambah Cowie.
Sebagian besar tengkorak yang diuji adalah laki-laki, tulang perempuan, anak-anak, dan orang yang baru pulih dari cedera traumatis. Juga ada orang dengan tengkorak memanjang.
Tim menerapkan tiga teknik ilmiah untuk berhasil mengidentifikasi komposisi kimia cat merah. Pigmen pada 24 sampel adalah oker berbahan dasar besi seperti hematit. 13 campuran cat dibuat dari cinnabar berbahan dasar merkuri.
Analisis kimia juga menunjukkan bahwa cinnabar diimpor dari jarak ratusan kilometer, sedangkan hematit kemungkinan besar berasal dari sumber lokal. Perbedaan-perbedaan ini mungkin mencerminkan penggunaan pigmen oleh kalangan elite dan non-elite.
Melukis tulang merah untuk melindungi makam dari kerusuhan pasca penaklukan
Beberapa tengkorak yang dicat dipindahkan dan kemudian ditempatkan di kuburan lain. Hal ini membuat para peneliti berasumsi bahwa pemindahan tersebut adalah cara untuk melindungi orang mati.
Mereka berhipotesis bahwa tengkorak dilukis atau dicat merah sebagai cara untuk melindungi makam dari perampok. “Terutama setelah invasi Spanyol,” Cowie menambahkan.
Tampaknya, ancaman terhadap penodaan dan penjarahan yang dilakukan oleh orang Eropa menjadi perhatian. Pigmen yang diterapkan dianggap membantu mencegah hal ini. Faktanya, beberapa sisa-sisa yang dicat ditempatkan di atas sisa-sisa lainnya yang tidak dicat, sebagai upaya untuk melindunginya.
Menurut peneliti, masyarakat Chincha sejak lama menggunakan tekstil, dedaunan, dan tangan sendiri untuk mengaplikasikan pigmen merah pada sisa-sisa manusia. Penelitian selanjutnya dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hidup dan mati. Juga perbedaan sosial agar dapat dilihat oleh orang lain.
Salah satu aspek proses yang belum diketahui oleh Bongers dan rekannya adalah kapan cat merah diaplikasikan.
Penelitian ini penting untuk mengetahui lebih banyak tentang kebudayaan Chincha dalam sejarah dunia. Sayangnya kebudayaan ini menghilang beberapa dekade setelah penaklukan Spanyol atas Peru dimulai pada tahun 1532 Masehi.
Source | : | Live Science,Ancient Origins |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR