Nationalgeographic.co.id—Hutan selama ini menjadi lini terdepan bagi kehidupan di planet Bumi dapat bertahan dari perubahan iklim. Dari seluruh dunia, hutan menyerap karbon dioksida sekitar 7,6 miliar metrik ton per tahun atau dua kali lebih banyak dari yang dihasilkan selama 2001 hingga 2019.
Di sisi lain, sudah sejak lama hutan dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber daya alam. Berbagai kayu bisa menjadi bahan bangunan, dan memiliki nilai ekonomi dalam perdagangan.
Penebangan pohon dengan jumlah yang banyak dan tidak mempertimbangkan jenis pohon tertentu dapat mengurangi daya hutan menyerap karbon. Padahal, 60 persen dari total target penurunan emisi nasional bergantung pada hutan yang luasnya sekitar 120 juta hektare. Hutan di Indonesia dibagi menjadi dua: hutan lindung dan hutan produksi.
Hutan produksi di Indonesia yang jumlahnya 30 juta hektare dari total kawasan hutan di Indonesia. Kawasan ini dimanfaatkan oleh berbagai perusahaan yang terjalin dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).
"Meski secara umum difungsikan sebagai area pembalakan, kawasan hutan alam produksi masih memiliki area bernilai konservasi tinggi yang dapat dipertahankan dan memberi manfaat bagi masyarakat sekitarnya," tutur Penasihat Senior Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hariadi Kartodiharjo.
Ia menyampaikannya dalam diskusi "Thought Leadership Forum: Transformasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi untuk Mencapai Target FOLU Net Sink 2030". Diskusi tersebut diselenggarakan oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) pada Kamis, 2 November 2023.
FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink 2030 adalah target kondisi yang ingin dicapai oleh Indonesia dari sektor kehutanan dan lahan. Indonesia berkomitmen untuk memiliki kemampuan tingkat serapan emisi gas rumah kaca, termasuk karbon, yang lebih tinggi pada tahun 2030.
Untuk mewujudkan komitmen, perlu ada tata kelola yang tepat kepada berbagai aktivitas di sekitar hutan alam produksi. YKAN mengembangkan metodologi Reduced Impact Logging for Climate Change Mitigation (RIL-C).
"Ini yang menariknya bahwa dengan RIL-C ini kita bisa tetap mempertahankan target produksi dari masing-masing perusahaan ini di satu sisi kita bisa mengurangi emisi dari kegiatan produksi kayu tadi," ujar Direktur Program Terestrial YKAN Ruslandi dalam forum yang sama.
"Dan tentunya dengan pendekatan ini, bagaimana pengelolaan hutan di Indonesia bisa mendukung FOLU Net Sink."
Ruslandi menjelaskan, melalui metode ini membuat perusahaan yang berada di kawasan hutan produksi lebih bijak dalam mengelola lahan. Perusahaan harus menghindari penebangan pohon berlubang, mengatur arah rebah pohon, mengurangi kerusakan pohon besar, dan meminimalisasi luasan jalan angkut untuk mengurangi kerusakan hutan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
KOMENTAR