Nationalgeographic.co.id—Setelah enam dekade bergemuruh mengatur aliran Sungai Ciujung, bendung tua ini akhirnya ditinggalkan. Kehendak alam atau keliru perhitungan? Akankah riwayatnya kita kenang—atau membiarkannya tercampakkan?
"De omnibus aliquid, de toto nihil," kata Droogstoppel dalam novel Max Havelaar. Kutipan berbahasa Latin itu bisa dimaknai sebagai "semuanya ada, tetapi tidak berarti apa-apa."
Droogstoppel adalah seorang makelar kopi yang tinggal di Lauriergracht, Amsterdam.
Buru-buru Droogstoppel menjelaskan bahwa sejatinya dia pantang mengucapkan kutipan berbahasa Latin. Namun, dia terpaksa menggunakannya untuk menyebut bungkusan yang berisikan "syair-syair tak bermoral" yang sekaligus bercampur "tumpukan pengetahuan".
Bungkusan itu dikirimkan oleh sosok misterius yang dia juluki sebagai Tuan Syaalman—Pria Berselendang. Namun Droogstoppel tidak dapat menyangkal bahwa dia telah terpikat beberapa karya sastra si lelaki misterius itu mengenai kopi.
Judul panjang novel itu Max Havelaar, of De Koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij terbit pada 1860. Apabila judul itu dialihbahasakan, Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda. Penulisnya, Multatuli—nama pedengan Eduard Douwes Dekker (1820-1887).
Eduard asal Amsterdam. Dia pernah menjabat sebagai asisten residen Lebak di Rangkasbitung, tepian Sungai Ciujung, sekitar 70 kilometer sisi tenggara Serang.
Novel adikaryanya telah menggebrak negeri Belanda dengan kisah penderitaan petani pada masa tanam paksa dan pemerintahan yang korup. Kelak karya sastra sohor ini menginspirasi politik balas budi Belanda untuk tanah jajahannya pada awal abad ke-20.
Sampai hari ini pun novel itu menjadi bahan dokumentasi yang penting bagi studi ilmu-ilmu kemasyarakatan dan politik. Max Havelaar telah diterjemahkan ke beberapa puluh bahasa, sehingga menjadi bagian dari kesusastraan dunia.
Setelah Hindia Belanda menghapus sistem tanam paksa pada 1870, penanam modal swasta dari Eropa mulai membanjiri negeri jajahan ini. Gerbong-gerbong kereta mengangkut kuli-kuli dari Jawa Tengah menuju Serang. Mereka didatangkan untuk bekerja di perkebunan-perkebunan swasta.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR