Tanpa pasokan medis, penghangat, dan makanan, para korban yang selamat menggunakan pesawat yang hancur sebagai tempat berlindung.
Sebisa mungkin, mereka memanfaatkan puing-puing, mengubah koper menjadi dinding dan sarung jok menjadi selimut. Dan, tak lama kemudian, mereka mengubah mayat menjadi makanan.
Perjalan Bertahan Hidup
Meskipun para penyintas menemukan makan di dalam pesawat, persediaan ini hanya akan mencukupi dalam waktu yang pendek. Dus, kelaparan segera menjadi masalah utama bagi para penyintas.
Mayat-mayat menumpuk, satu demi satu. Dalam waktu 10 hari, enam orang meninggal. Mereka yang bertahan hidup menjadi lemah.
Kelaparan dan suhu yang sangat dingin, membawa mereka mencapai kesadaran radikal: Harus memakan orang mati agar bisa hidup.
"Saya tidak akan pernah melupakan sayatan pertama itu, ketika setiap orang sendirian dengan hati nuraninya di puncak gunung yang tak terbatas itu, pada hari yang lebih dingin dan lebih suram daripada hari sebelumnya atau setelahnya," tulis Roberto Canessa dalam memoarnya yang berjudul I Had to Survive pada 2016.
"Kami berempat, masing-masing menggunakan silet atau pecahan kaca di tangan, dengan hati-hati memotong pakaian dari tubuh yang wajahnya tidak sanggup kami lihat."
Longsoran salju yang menghancurkan
Pada sore hari tanggal 29 Oktober, ketika para korban selamat beristirahat, longsoran salju menderu menuruni lereng gunung. mengubur pesawat dan merenggut nyawa delapan orang lainnya.
"Saya hampir menyerah ketika longsoran salju menghantam kami," ujar Canessa dalam sebuah wawancara dengan National Geographic pada tahun 2016.
"Tapi kemudian salah satu anak laki-laki lain berkata, 'Roberto, betapa beruntungnya kamu karena kamu bisa berjalan untuk kami semua. Itu seperti sebuah suntikan semangat ke dalam hati saya. Kakinya patah - tetapi saya bisa berjalan. Misi saya bukan hanya memikirkan apa yang lebih baik untuk saya, tetapi apa yang lebih baik untuk rombongan."
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR