Pada tahun-tahun awal Republik Romawi, jumlah orang yang akan dipilih sebagai konsul relatif terbatas. Kandidat untuk jabatan tersebut diperkirakan sudah menduduki jabatan tinggi dalam dinas sipil Romawi, dan berasal dari keluarga bangsawan yang mapan.
Laki-laki biasa yang menjadi kaum plebeian, pada awalnya dilarang mencari pengangkatan sebagai konsul.
Pada tahun 367 SM, kaum plebeian akhirnya diizinkan untuk mencalonkan diri sebagai kandidat dan pada tahun 366 Lucius Sextus terpilih sebagai konsul pertama yang berasal dari keluarga plebeian.
Kadang-kadang, tanggung jawab kedua konsul tersebut akan digantikan oleh otoritas yang lebih tinggi, terutama pada saat sangat membutuhkan atau dalam bahaya.
Yang paling menonjol adalah sosok diktator – sosok yang dipilih oleh konsul untuk memerintah selama jangka waktu enam bulan pada saat krisis.
Kandidat untuk posisi diktator diajukan oleh Senat dan selama masa jabatan perdana menteri diktator, para konsul dipaksa untuk mengikuti kepemimpinannya.
Meskipun konsul hanya menjabat selama satu tahun dan pada prinsipnya hanya diharapkan untuk mencalonkan diri kembali setelah selang waktu sepuluh tahun, hal ini sering kali diabaikan.
Gaius Marius menjabat total tujuh periode sebagai konsul, termasuk lima periode berturut-turut dari tahun 104 hingga 100 SM.
Puncak Karier Politisi Sejarah Romawi Kuno
Mencapai pangkat konsul tentu saja merupakan puncak karier politisi sejarah Romawi kuno. Hal ini ipandang sebagai langkah terakhir dalam cursus honorem atau 'kursus jabatan', yang berfungsi sebagai hierarki dinas politik Romawi.
Batasan usia yang diberlakukan di berbagai jabatan sepanjang cursus honorem menyatakan bahwa seorang bangsawan harus berusia minimal 40 tahun agar memenuhi syarat untuk menjadi konsul, sementara kaum plebeian harus berusia 42 tahun.
Politisi yang paling ambisius dan cakap akan berusaha untuk dipilih sebagai konsul sebagai segera setelah mereka cukup umur, dikenal sebagai melayani suo anno – 'di tahunnya'.
Source | : | Ancient Pages,History Hit |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR