Nationalgeographic.co.id—Lady Hester Stanhope adalah adalah seorang wanita Inggris yang terkenal karena kehidupan dan petualangannya di Timur Tengah pada abad ke-19. Hester adalah bagian penting dari narasi yang lebih luas tentang interaksi antara Barat dan Timur Tengah pada masa lampau
Lahir pada tahun 1776, Hester tumbuh di dalam keluarga elite Inggris. Dia merupakan cucu dari seorang pria yang kaya raya dan pamannya adalah seorang Perdana Menteri Inggris kesohor, William Pitt.
Pitt belum menikah, sehingga Hester pindah ke Downing Street untuk bertindak sebagai nyonya rumah bagi banyak acara sosialnya. Jadi, di awal usia dua puluhan, ia selalu berada di tengah-tengah keluarga kerajaan dan para bangsawan.
Pitt meninggal pada tahun 1806. Menurut Rupert Taylor, seorang penulis dan jurnalis senior dari Kanada, setiap tahun Hester menerima uang pensiunnya sebesar £1.000 atau sekitar 2 milyar rupiah saat ini.
Meskipun hidup serba kecukupan, Hester merasa jenuh dengan kehidupan sosial di lingkungannya yang terkesan kaku. Hal inilah yang kemudian membuatnya memutuskan untuk meninggalkan Inggris dan memulai petualangan baru.
Pertemuan dengan Kekasihnya
Pada tahun 1810, Lady Hester memulai perjalanan laut yang panjang. Dia membawa rombongan yang terdiri dari saudara laki-lakinya, seorang dokter pribadi, dan beberapa pelayan.
Perhentian pertama adalah Gibraltar, di mana romantisme menunggu dalam wujud Michael Bruce muda yang gagah.
“Hester telah mengalami beberapa kali pacaran yang gagal di Inggris dan tidak berharap menemukan cinta di usia awal tiga puluhan. Namun, meskipun 11 tahun lebih muda darinya, Bruce ternyata adalah pria yang sesungguhnya,” kata Taylor.
Keduanya menjadi sepasang kekasih saat mereka menuju ke Mediterania menuju Turki. Berita tentang hubungan sejoli itu dengan cepat sampai ke Inggris. Hal ini tentu segera menjadi gunjingan di tengah pertemuan orang-orang sopan– wanita tidak bepergian dengan pria yang belum menikah.
Di Konstantinopel (Istanbul saat ini), ia menikmati hiburan populer di kota itu-pemenggalan kepala penjahat. Dia tampaknya tidak gentar ketika kepala yang terpenggal itu diberikan kepadanya di atas piring.
Michael Bruce membutuhkan restu dari ayahnya untuk menjalin hubungan tersebut agar anak itu bisa mendapatkan dana. Dengan enggan persetujuan diberikan, namun Papa Bruce mendesak putranya untuk mengemban takdirnya, yang dianggap sebagai karier di bidang politik.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR