Dahulu kala, alat tersebut pernah digantung dengan seutas tali pada rangka kayu seorang porter teh. Artefak dari masa lalu yang tegas, peninggalan pengalaman manusia yang ekstrem, dengan daya tahan yang luar biasa.
“Saya berjalan melintasi dunia,” tulis Salopek. “Barang terberat di ransel saya adalah laptop seberat 1 kg.”
Salopek bersama rekannya mendaki Erlang Shan, pegunungan setinggi 3.400 mdpl yang penuh badai. Pegunungan itu juga pernah menguji mental para kuli teh tua. Puncak raksasa ini menjulang di jalur perdagangan yang mulai memudar antara Kangding dan Ya’an. Kanding merupakan pos terdepan pasar teh dan musim dingin yang dingin di Tibet. Sedangkan Ya’an merupakan pusat produksi teh dataran rendah yang subur di Provinsi Sichuan.
Daerah perbatasan yang terjal ini terkenal akan bahayanya.
Benteng dataran tinggi Tibet menjulang dari Cekungan Sichuan menuju dunia kabut tebal, es, salju, dan angin kencang. Tanah longsor dan batu runtuh sering terjadi. Salopek dan tim kerap terpeleset, naik turun jalan setapak terjal yang diolesi lumpur basah. Mereka melompat-lompat di sepanjang jalan terbengkalai yang hancur berkeping-keping akibat banjir bandang.
Pohon aras yang menetes muncul dari balik kabut tebal. Salju busuk menempel di bayang-bayang pohon pinus biru. Di tempat peristirahatan, terkadang mereka melihat lubang-lubang aneh yang dibor pada batuan dasar datar. Rongga-rongga kecil ini terkikis oleh aksi ribuan guaizi kayu. Guaizi adalah tongkat yang sangat diperlukan untuk pasukan pengangkut teh yang telah menghilang itu.
Sambil mengatur napas, beifu nan tangguh itu akan memasukkan pohon alpenstock berbentuk T ke dalam soket tersebut. Tujuannya untuk menopang ransel mereka yang sangat besar.
“Bawaan barang berat dan jarak jauh merupakan hal yang lazim dilakukan di seluruh dunia, khususnya di Nepal,” tulis Patrick Booz, pakar perdagangan teh Tiongkok di Universitas Columbia. “Tetapi di tempat lain—yang belum pernah—para kuli angkut membawa barang-barang tersebut. beban yang sangat berat, dengan sedikit waktu untuk istirahat.”
Beifu melintasi sepanjang jalan teh Sichuan dalam waktu sekitar 20 hari. Beban mereka begitu berat sehingga mereka rata-rata hanya menempuh jarak 11 km sehari. 113 kg dianggap beban sedang, catat Booz.
“Saya masih bisa merasakan sakitnya,” kata Wang Shikang, 89 tahun, salah satu beifu terakhir yang masih hidup di desa Kang Zhi. “Saya menderita rematik di lutut dan punggung saya.”
Mata Wang berkilauan di balik pelindung kulit di wajahnya saat ia mengenang hari-harinya di masa senja “perdagangan kaki”. Kariernya berakhir setelah jalan beraspal memasuki wilayah tersebut selama Perang Dunia II.
Wang tidur di ranjang papan bersama sejumlah pengangkut lainnya yang terbungkus kain di penginapan kuli. Dia meneguk pangsit dingin untuk mengobarkan otot-ototnya yang “mengamuk”. Setiap perjalanan ke pasar teh di dataran tinggi menghasilkan segenggam koin. Koin itu merupakan upah untuk bertahan hidup yang dapat membeli sekarung jagung atau beras.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR