Menurut tim Museum Benteng Vredeburg yang menghimpun survei dari warga, umumnya mereka mengunjungi museum dalam dua kesempatan: saat masih bersekolah dan saat mengantar anaknya. "Tetapi kita ingin membuat perubahan terkait dengan budaya itu," kata Rosyid. "Nantinya mereka ke museum karena mereka benar-benar membutuhkan."
Ia menambahkan, "Kita saling memberikan masukan ke masyarakat karena lembaga pendidikan itu tidak hanya sekolah, tetapi museum juga sebagai lembaga pendidikan." Apabila masyarakat berkunjung ke mal bisa sebanyak dua atau tiga kali dalam sebulan, setidaknya mereka bisa berkunjung ke museum empat sampai lima kali dalam sebulan. Peningkatan kunjungan ke museum bisa tercapai apabila museum merespons mereka dengan dinamika museum.
Atas dasar itulah museum ini senantiasan mendekatkan dinamikanya bersama komunitas. Sejak 2012 museum ini mendirikan lembaga nonformal Forum Komunitas Museum Benteng. Tujuannya, membuka jaringan dan memberi ruang kepada komunitas-komunitas untuk berkegiatan dan menyemarakkan museum sekaligus tampil sebagai agen museum.
Setiap peringatan Serangan Umum 1 Maret 1949, Museum Benteng Vredeburg turut mendukung komunitas reka ulang sejarah Djokjakarta 1945. Komunitas ini menghimpun pegiat reka ulang sejarah dari berbagai kota di Indonesia untuk tampil pada aksi teatrikal di sepanjang Maliboro, termasuk di lingkungan museum.
Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan
Sejatinya gagasan museum sebagai pusat kegiatan komunitas telah digulirkan oleh salah satu sesepuh Kota Yogyakarta, yang juga tokoh pendidikan nasional kita. Ki Hajar Dewantara (1889-1959) pernah bercita-cita menjadikan benteng ini sebagai pusat kebudayaan Nusantara.
Apakah cita-cita itu terwujud? Rosyid dengan bangga mengatakan bahwa saat ini Museum Benteng Vredeburg telah menjadi bagian dari pusat kebudayaan Nusantara. Sebuah program yang didukung Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Dana Keistimewaan bertajuk "Selasa Wagen" digelar secara berkala setiap hari pasaran Selasa Wage di sudut pekarangan luar Fort Vredeburg.
Ajang ekspresi budaya itu persisnya berada di Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949, salah satu spot terbaik untuk aktivitas komunitas dan kebudayaan di kawasan Titik Nol Kilometer Kota Yogyakarta. Berbagai mahasiswa dari penjuru Nusantara—yang sedang menyelesaikan studi di Kota Pelajar ini—secara bergiliran berpentas sebagai duta-duta budaya yang didukung oleh pemerintah daerah masing-masing.
Bersama Warga Menemukan Kembali Jiwa Kota
Jiwa kota bersemayam di bangunan-bangunan tua dan makam-makam leluhur kota. Kita bisa mengenali karakter sebuah kota melalui gaya arsitektur dan tata ruangnya. Keduanya menjadi bagian tengara tentang jejak peradaban dan semangat yang pernah membangun sebuah kota.
Fort Vredeburg dan lingkungannya merupakan suatu kesatuan historis. Sisi utaranya adalah pasar dan pecinan, sisi selatannya adalah perkantoran tua, sisi baratnya adalah Loji Kebon yang kini Istana Kepresidenan, dan sisi timurnya adalah permukiman Eropa yang pernah dijuluki Loji Kecil.
Dari benteng ini setidaknya terdapat dua peristiwa penting yang mengubah sejarah Yogyakarta sekaligus menahbiskannya sebagai kota perjuangan. Pertama, peristiwa penyerbuan Inggris ke Yogyakarta pada Juni 1812—yang dikenang sebagai Geger Sepehi. Sebuah peristiwa sejarah yang memalukan karena untuk pertama kalinya kolonialisme menaklukkan keraton di Jawa, sekaligus menjarah harta dan pustakanya. Kedua, periode Yogyakarta sebagai Ibu Kota Republik sampai peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, yang kini diperingati sebagai Hari Penegakan Kedaulatan. Tanpa Yogyakarta boleh jadi Republik ini tak pernah ada.
Kita bisa mengenali perkembangan sebuah kota dari perwajahan bangunannya—permukiman, perkantoran, dan fasilitas publik. Setiap zaman memiliki cirinya sendiri. Kita pun bisa memunculkan kembali jiwa kota yang kita huni melalui pencarian histori dan jejak budaya dalam perbincangan-perbincangan antarkomunitas warganya.
Museum sebagai pusat kebudayaan bisa turut berperan memberi ruang kepada komunitas-komunitas untuk terlibat dalam menemukan kembali jiwa atau jati diri sebuah kota. Keberadaan museum membentuk pemahaan sadar budaya dan sadar sejarah.
Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang kerap disebut-sebut sebagai pujangga terakhir di Jawa, pernah bersyair "Wong nemoni wolak-walik ing jaman" sebagai pertanda suatu masa yang terbalik-balik. Demikian juga imaji untuk benteng ini berubah seiring pergantian zaman. Dahulu, sang arsitek Frans Haak merancang benteng ini dengan tujuan pertahanan militer dan menempatkannya berjarak bagi lingkungan luarnya. Hari ini Rosyid berupaya memberi narasi histori dan mendekatkan benteng ini dengan lingkungan luar—sedekat-dekatnya, semesra-mesranya.
"Keberadaan museum itu bukan hanya untuk kebutuhan sekarang, tetapi museum ada sebagai modal untuk generasi muda untuk menatap masa depan," kata Rosyid. "Jadi konteks museum jangan dianggap konteks masa lalu, sejatinya konteks museum itu konteksnya masa depan."
Apakah revitalisasi dan transformasi Fort Vredeburg akan mengembalikan pamornya, atau justru menyurutkannya? Kita menantikan kabar pengalaman para pengunjungnya pada pertengahan tahun ini.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR