Nationalgeographic.co.id - Meski suhu Asia Tenggara sedang panas-panasnya, sekitar 40 biksu Thailand, Singapura, Malaysia, Korea, dan Indonesia, melakukan perjalanan ke Candi Borobudur dan Candi Muaro Jambi. Kegiatan perjalanan ini dibuka pada 15 Mei di Kantor Kementerian Agama, Jakarta. Setelah itu, mereka diantar menggunakan bus menuju Vihara Budha Jayanti Wungkal Kasap, Semarang.
Perjalanan panjang ini merupakan bagian dari perayaan hari raya Waisak. Mereka telah tiba Selasa, 21 Mei 2024, dan disambut masyarakat setempat, baik umat buddha yang merayakan maupun nonbuddhis.
Perjalanan jauh yang disebut sebagai thudong oleh para biksu ini punya makna secara spiritual. Wakil Ketua Panitia Waisak Nasional 2568 BE/2024 YM Bhikkhu Dhammavuddho Thera mengatakan bahwa tradisi thudong adalah sarana untuk belajar sabar.
"Di zaman modern sekarang, tradisi thudong masih tetap dilestarikan," kata Bhikkhu Dhammavuddho, dalam keterangan tertulis 17 April 2024. "Akan tetapi, karena saat ini sudah berdiri vihara-vihara dan didukung oleh berbagai fasilitas, maka tradisi thudong boleh dikatakan sebagai sebuah rangkaian perjalanan dengan mempraktikkan ajaran Buddha."
Tradisi thudong adalah perjalanan ritual yang harus menempuh ribuan kilometer. J. L. Taylor dalam buku Forest Monks and the Nation-state: An Anthropological and Historical Study in Northeastern Thailand, thudong secara harafiah adalah melatih. Istilah ini berasal dari bahasa Pali "dhutanga" yang berarti "latihan keras".
Selama perjalanan, para biksu akan berjumpa dengan segala makhluk yang ada di muka bumi, termasuk manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Perjalanan ini merupakan upaya meditasi dengan mendekatkan diri pada alam. Hal ini merupakan bagian dari perintah 13 praktik pertapaan biksu buddhis (dhutanga) yang dianjurkan Buddha Gautama.
Perjalanan Jauh Para Biksu Mengikuti Ajaran Sang Buddha
Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, menyambut kedatangan rombongan thudong ini. Tidak jarang organisasi masyarakat bahkan mengawal perjalanan supaya para biksu bisa tiba dengan selamat sampai tujuan. Masyarakat sipil juga memberikan makanan dan minuman sebagai bentuk dukungan dan memberi semangat.
Para biksu mengikuti peraturan monasteri sehari-hari yang juga diterapkan selama thudong. Mereka makan hanya sehari sekali dan hanya diperbolehkan makan saat pagi—tidak boleh kewat dari tengah hari. Dari sinilah mereka harus melatih kesabaran. Ditambah, situasi panas dan perjalanan panjang yang melelahkan harus dihadapi.
Akan tetapi, para biksu tidak boleh sembarangan makan dan minum. Mereka hanya boleh makan buah yang tidak lebih dari sekepal tangan, dan tidak mengonsumsi banyak-banyak. Mereka tidak akan menyimpan makanan. Makanan berlebih atau tidak sesuai akan dibawa para biksu ke pihak vihara.
Praktik thudong belum tentu cocok untuk semua biksu, seperti sedang sakit dan kurang dianjurkan bagi yang memiliki sifat kebencian mengakar kuat. Selain itu, praktik thudong juga tidak wajib bagi semua anggota Sangha.
Ada 13 praktik pertapaan thudong yang dilakukan para biksu hari ini. Beberapa di antaranya adalah praktik keseharian mereka, yakni mengenakan jubah dari kain bekas, mengenakan 3 helai jubah, menerima makanan sedekah, mencari makanan sedekah tana pilih-pilih, makan sehari sekali, makan hanya dari mangkuk biksu, menolak makanan tambahan, menetap di hutan, menetap di alam terbuka, menetap di tanah kuburan, tidur di mana pun disediakan, dan selalu dalam posisi duduk.
Baca Juga: Mengintip Tradisi Perayaan Waisak Dari Berbagai Negara di Dunia
Memang, praktik thudong yang dilakukan para biksu ini merupakan bagian dari ajaran Buddha. Akan tetapi, tradisi ini telah mengalami perubahan dalam sejarah, seiring dengan perubahan kondisi saat ini.
Dalam sejarahnya, thudong diyakini sudah ada sejak abad keenam hingga keempat SM di India. Ritual thudong dilakukan oleh Sang Buddha yang bertapa dan mengembara. Para pengikut Sang Buddha, termasuk para biksu dan biksuni mengembangkan praktik pengembaraan ini untuk mencapai titik terdalam meditasi.
Praktik ini dikenal dalam sebuah kitab abad kelima yang disebut Visuddhimagga (Jalur Penyucian). Kitab ini disusun oleh filsuf Buddhaghosa dan memuat praktik ajaran Theravada. Buddhaghosa menyebutkan bahwa jika ingin mencapai pencerahan dan nirwana (kebebasan), harus melalui pertapaan. Praktik pertapaan ini salah satu di antaranya adalah thudong atau mengembara.
Visuddhimagga menganjurkan untuk meninggalkan tempat keramaian di mana para biksu bisa mengisolasi diri dari godaan duniawi dan gangguan. Mereka yang menginginkan nirwana harus memfokuskan diri di tempat sepi dan damai dengan bermeditasi, sehingga dapat mengembangkan spiritualitasnya.
Dengan demikian, perbedaan antara thudong dulu dan kini terletak dari tempat tujuannya. Hari ini, thudong bisa dilakukan dengan menziarahi tempat-tempat suci dan bermeditasi, termasuk ke Candi Borobudur dalam perayaan Waisak.
"Di zaman modern sekarang, tradisi tetap dilestarikan, tetapi vihara sudah ada, jadi digeser menjadi satu rangkaian perjalanan, misalnya dalam rangka Waisak," kata Bhikkhu Dhammavuddho, dilansir dari Detik.com. "Ke tempat-tempat suci, sekarang masih ada di Thailand, juga masih sering dilaksanakan di India dan yang pertama di Indonesia yang saat ini."
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR