Nationalgeographic.co.id—Belum lama fenomena aurora dapat dilihat di beberapa belahan bumi. Salah satunya, aurora ini terlihat di daerah Southampton, Inggris, pada Sabtu (11/5) dini hari, tidak jauh dari pusat kota. Padahal, daerah ini jauh dari lingkar kutub.
Aurora merupakan fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya yang menyala-nyala dan menari-nari di langit malam pada lapisan ionosfer. Munculnya cahaya cantik dari antariksa ini disebabkan adanya interaksi antara partikel di atmosfer Bumi dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari. Partikel surya tersebut menembus masuk setelah dibelokkan oleh medan magnet Bumi.
Mengapa aurora bisa terjadi?
Menurut Rhorom Priyatikanto, peneliti ahli madya Pusat Riset Antariksa ORPA-BRIN, ketampakan ini berkaitan dengan badai geomagnet ekstrem yang dipicu oleh rentetan Lontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection atau CME) yang terjadi beberapa hari sebelumnya.
Setidaknya ada 4 (empat) lontaran korona dari Matahari yang mengarah ke Bumi, terjadi tanggal 8-9 Mei dan berkaitan dengan daerah aktif super besar dengan nomor AR 3664.
CME merupakan letupan besar di atmosfer Matahari yang turut menghempaskan milyaran ton materi ke antariksa. CME kuat biasa terjadi bersamaan dengan kilatan (flare) Matahari.
Rhorom menuturkan butuh waktu sekitar dua hari bagi awan partikel yang terlontar tadi untuk akhirnya menghantam Bumi pada tanggal 10-12 Mei. Badai ekstrem ini dibilang sebagai badai terkuat setelah Halloween storm yang terjadi tahun 2003 silam.
Di Pusat Riset Antariksa BRIN, beberapa peneliti melakukan kegiatan pemantauan cuaca antariksa. Hal ini dilakukan untuk memprediksi keadaan cuaca antariksa di keesokan harinya.
Mereka mengamati dan meneliti aktivitas Matahari, aktivitas geomagnet, dan ionosfer agar tahu apakah ada peningkatan aktivitas hingga menghasilkan ganguan atau tenang. Seperti yang telah dijelaskan, bahwa aurora merupakan dampak yang terjadi akibat adanya badai matahari yang kuat.
Melalui informasi yang dikeluarkan oleh layanan BRIN yaitu Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS) di https://swifts.brin.go.id/, berdasarkan hasil riset Peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, didapatkan bahwa aktivitas badai matahari di waktu tersebut memang sedang sangat tinggi.
Sejak 8 Mei 2024 telah diprediksi kemungkinan adanya kilatan (flare) kuat selama 4 hari berturut-turut yang berasal dari daerah aktif superbesar yang kemudian menghasilkan lontaran massa korona dan gangguan di ionosfer yang berpotensi mengganggu sistem komunikasi radio frekuensi tinggi (HF).
Baca Juga: Picu Aurora di Berbagai Belahan Dunia, Seberapa Bahaya Badai Matahari?
Gangguan di ionosfer ini kemudian terkonfirmasi dari data pengamatan ionosfer dari Stasiun Observasi Atmosfer dan Antariksa Pontianak, pada tanggal 12 dan 13 Mei 2024 menunjukan adanya badai ionosfer yang diinformasikan di SWIFtS.
“Masih ada kemungkinan badai ekstrem seperti ini berulang lagi pada siklus Matahari 25 yang puncak aktivitasnya belum terlewati,” ungkap Rhorom.
Jenis Aurora
Di Bumi, aurora terjadi di daerah di sekitar Kutub Utara dan Kutub Selatan. Aurora yang ada di langit bagian Kutub Selatan disebut aurora australis, sedangkan aurora yang ada di langit bagian Kutub Utara disebut aurora borealis.
Aurora yang terlihat di Southampton pada Sabtu (11/5) merupakan aurora borealis yang juga dapat dilihat di Eropa tengah-utara hingga Amerika utara. Pada saat yang sama, aurora australis juga muncul dengan intensitas yang lebih rendah.
Aurora tak muncul di langit Indonesia dikarenakan medan magnet Bumi berbentuk menyerupai apel, yakni tebal di daerah ekuator. Maka dari itu, menimbang posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, amat sulit bagi partikel surya untuk menembus masuk ke atmosfer dan memunculkan aurora di atas Indonesia.
“Kemunculan aurora di daerah sekitar 50 derajat lintang utara tidak sering terjadi. Badai geomagnet ekstrem pasti ada di baliknya," papar Rhorom.
"Meski tampak indah, kemunculan aurora juga berarti ancaman bagi operasional satelit maupun jaringan transmisi listrik di lintang tinggi. Hal ini perlu diwaspadai dan diantisipasi dengan saksama."
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR