Hal ini dapat menjadi “fatal,” seperti yang ditekankan oleh Fahad Saeed, seorang ilmuwan iklim dari Climate Analytics berbasis di Pakistan.
Kematian yang terkait dengan panas selama ibadah haji di Makkah bukanlah hal baru dan telah tercatat sejak abad ke-15.
Tidak adanya aklimatisasi (penyesuaian diri dengan iklim, lingkungan, kondisi, atau suasana baru) terhadap suhu yang lebih tinggi, aktivitas fisik yang intens, ruang terbuka, dan populasi yang lebih tua membuat para jemaah rentan.
Lebih dari 2.000 orang mengalami stres panas tahun lalu, menurut sumber-sumber Saudi. Situasi ini diperkirakan akan memburuk seiring dengan pemanasan global yang terjadi di bumi.
Menurut studi tahun 2021 yang diterbitkan di jurnal Environmental Research Letters, jika dunia mengalami pemanasan sebesar 1,5° Celsius di atas tingkat pra-industri, risiko heatstroke bagi para jemaah yang berpartisipasi dalam ibadah haji akan meningkat lima kali lipat.
Kematian saat ini adalah gambaran awal dari apa yang akan terjadi bagi puluhan juta umat Muslim yang akan menjalankan ibadah haji dalam beberapa dekade mendatang.
“Perjalanan haji telah dilakukan dengan cara tertentu selama lebih dari 1.000 tahun sekarang, dan selalu berada di iklim panas,” kata Carl-Friedrich Schleussner, penasihat ilmiah di Climate Analytics, institut Jerman.
“Namun … krisis iklim menambah tingkat keparahan kondisi iklim,” jelas Schleussner. Oleh karena itu, masih menurut Schleussner, beberapa rukun haji, seperti pendakian ke padang Arafah, sekarang menjadi “sangat berbahaya bagi kesehatan manusia”.
Dalam menghadapi tantangan pemanasan global, keselamatan dan kesejahteraan jemaah haji menjadi prioritas utama. Upaya kolaboratif dari seluruh komunitas internasional diperlukan untuk mengurangi risiko kesehatan yang dihadapi para jemaah selama ibadah haji.
KOMENTAR