Nationalgeographic.co.id—Ada banyak jejak peninggalan Eropa di Indonesia. Baik berupa bangunan fisik hingga catatan dalam buku-buku sejarah. Pusat Riset Kewilayahan (PRW) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bekerja sama dengan Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE) menyelenggarakan diskusi buku berjudul Jejak Eropa di Indonesia pada pekan lalu.
Buku ini mengajak pembaca menelusuri lorong sejarah yang kompleks, serta melihat kembali jejak-jejak Eropa di Indonesia. Buku ini mengajak para pembaca mempelahari cerita hidup di masa lalu serta merefleksikannya dengan relasi Indonesia-Eropa saat ini.
Buku ini terdiri atas 13 bab yang terdiri dari 245 halaman. Buku ini diterbitkan oleh PT. Kanisius Yogyakarta, diedit oleh Erwiza Erman, Ahmad Helmy Fuady, Harfiyah Widiawati, Bondan Widyatmoko. Mereka adalah para peneliti dari PRW BRIN.
Bondan Widyatmoko membuka diskusi dengan penyampaian prolog pertama mengenai sifat dan mekanisme transmisi relasi. “Hal yang mendorong Eropa memberikan pengaruh di ASEAN khususnya yakni dominasi kekuasaan dilanjutkan pertarungan dominasi,” ujar Bondan seperti dilansir laman BRIN.
Hal itu mencakup globalisasi, teknologi, percampuran imajinasi dan kebencian, refleksi diri, serta kesadaran mengarah pada kemauan untuk berkuasa. Hal ini yang menyebabkan relasi dominasi yang berlanjut dan transformasi fungsional dan struktural pada negara yang dituju.
Pada prolog kedua, Harfiyah Widiawati membahas tentang poskolonialitas Indonesia dan konektivitas Eropa yang mencakup definisi Indonesia, kehadiran Eropa, interaksi kolonial, artikulasi Indonesia, serta konektivitas dan negosiasi. Perempuan yang akrab dipanggil Wiwi ini menjabarkan mengenai bab tentang Gagasan Seni Lukis Modern Indonesia dan Konektivitas Eropa Indonesia pada Akhir Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20.
Permasalahan yang dibahas mencakup pengaruh hubungan Eropa-Indonesia pada seni lukis modern Indonesia. “Romantisisme mempengaruhi pandangan Barat terhadap Indonesia yakni orientalisme, mooi indie. Aliran realisme muncul akibat industrialisasi, memunculkan aliran seperti impresionisme, ekspresionisme, dan surealisme,” jelas Wiwi.
Romantisisme tersebut berkembang menjadi nasionalisme-populis di Indonesia. Kesenjangan sosial dan rasialisme kolonial memicu pencarian identitas otentik. Pelukis Indonesia juga menciptakan karya campuran, menggabungkan genre Barat dengan konteks lokal sehingga seni lukis Indonesia menampilkan visi estetik nasionalisme dan anti-kolonialisme.
Pemaparan dilanjutkan pada bab berikutnya, yakni Dekolonisasi dan Pembebasan Perempuan dalam Karya Sastra dijelaskan oleh Dini Asmarani. Untuk bab mengenai warisan Portugis di Konga, Nusa Tenggara Timur, yakni tentang Katolik dan Negosiasi Budaya Lokal dituturkan oleh Michael Don L, Angela Iban, dan Saiful Hakam. Bab selanjutnya Tolstoy dan Religiusitas dijabarkan oleh Albert Muhammad dan Isrun Naini.
Tema bab-bab dalam buku ini juga mengenai kebijakan lingkungan dan hukum. Salah satunya yang ditulis oleh Bondan Widyatmoko dan Meilinda Sari Yayusman dengan narasi berjudul Kolonialisme dalam Kebijakan Lingkungan: Dari Agrarische Wet sampai dengan European Green Deal.
Kemudian tentang kebijakan Low Emission Zone (LEZ) di Jakarta: Komitmen Pengurangan Emisi Karbon dari Uni Eropa ke Indonesia disampaikan oleh Choerunisa Noor Syahid dan tim.
Baca Juga: Mengungkap Peradaban Nusantara Melalui Rekam Jejak Budaya Megalitik Austronesia
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Utomo Priyambodo |
KOMENTAR