Mencermati karakteristik ini, Dedi berpendapat orang Bajo Indonesia yang keberadaannya di laut kondisinya sangat meyedihkan. Mereka bergerak di wilayah tiga negara yaitu Indonesia, Filipina, dan Malaysia.
Dengan demikian, indentitas mereka tidak mendapat pengakuan warga negara dari ketiga negara tersebut. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan status jaminan hak hidup sebagaimana mestinya.
Peneliti dari Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas BRIN, Erwan Husnan, menanggapi opini bahwa orang Bajo di NTB adalah pendatang. Dia mengatakan hal itu tidak benar.
Memang salah satu budaya Bajo di NTB adalah melaut. Namun, Erwan mempertegas, mereka asli warga NTB.
Erwan menjelaskan bahwa mengingat mata pencaharian sehari-hari orang-orang Bajo, hidup mereka jelas tergantung pada perubahan iklim. “Untuk mengetahui iklim, mereka menggunakan pengetahuan musiman lokal untuk menangkap ikan. Pengetahuan tersebut diwariskan oleh generasi ke generasi dan menjadi pengalaman yang terus berkembang,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan ada tiga cara mengetahui pasang surut dalam melaut untuk menentukan penangkapan ikan. Antara lain konsep ngetis yang artinya kering. Ini menandakan air laut kering.
Konsep lainnya adalah pangerik surut, yang merupakan air surut yang teratur oleh waktu. Adapun mallohe artinya memindahkan.
Untuk melaut punya strategi juga. Ada area yang dikenal dengan istilah bungin, yaitu lokasi tangkap ikan yang terdiri pulau-pulau kecil.
Mereka menggunakan strategi menyeberang dari satu pulau ke pulau lain. Tujuannya untuk menghindari ombak. Adapun maringkik artinya melakukan hal yang sama untuk menyeberangi selat, tanpa ada pulau-pulau.
“Sesungguhnya orang Bajo dapat melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menggunakan pengetahuan mereka dalam melaut. Mereka berpegangan pada kondisi arus. Hasil tangkapan mereka antara lain lobster, cumi, dan ikan laut jenis lainnya,” papar Erwan.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR