Menghindari greenwashing
Antusiasme global terhadap karbon biru, termasuk di Jepang, semakin meningkat. Namun, upaya untuk mengukur dan memverifikasi penyerapan karbon oleh ekosistem ini, khususnya rumput laut, masih menghadapi sejumlah tantangan.
Tidak seperti mangrove atau padang lamun yang menyimpan karbon secara langsung di dalam sedimen, rumput laut seperti konbu dan wakame yang menempel pada permukaan keras menyimpan sebagian besar karbon yang mereka serap di tempat yang jauh lebih dalam, yaitu dasar laut. Hal ini membuat proses pelacakan dan verifikasi karbon yang tersimpan menjadi jauh lebih kompleks.
"Membuktikan hubungan antara pertumbuhan rumput laut dan penyimpanan karbon di dasar laut adalah hal yang sangat sulit," ungkap Daniel Friess, seorang profesor dari Tulane University. Karena kesulitan ini, banyak studi ilmiah internasional seringkali tidak memasukkan rumput laut dalam perhitungan karbon biru.
Meskipun menghadapi tantangan yang signifikan, Tomohiro Kuwae, pendiri JBE, melihat peluang besar dalam pengembangan metode pengukuran karbon biru untuk rumput laut. "Sebagai seorang ilmuwan, saya merasa tertantang untuk mempelajari hal-hal yang belum diketahui," ujarnya.
Bersama timnya, Kuwae telah mengembangkan metode perhitungan yang memungkinkan para pelamar untuk memperkirakan jumlah karbon yang diserap oleh berbagai jenis rumput laut. Metode ini kemudian digunakan sebagai dasar dalam proses sertifikasi kredit karbon biru yang dikeluarkan oleh JBE.
"Kami menyadari bahwa kami perlu mengambil risiko untuk menjadi yang pertama mengembangkan metode perhitungan karbon biru untuk rumput laut," kata Kuwae.
Meskipun potensi karbon biru dalam memerangi perubahan iklim sangat menjanjikan, perjalanan menuju implementasi skala besar masih penuh dengan tantangan. Salah satu kendala utama adalah biaya yang tinggi untuk memulai dan memantau proyek-proyek restorasi ekosistem pesisir.
Selain itu, ekosistem pesisir sendiri juga menghadapi ancaman dari perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan gelombang panas yang dapat merusak habitat laut.
"Istilah 'greenwashing' atau pencitraan hijau yang menyesatkan adalah ancaman nyata bagi kredibilitas proyek karbon biru," ujar Daniel Friess, seorang ahli karbon biru dari Tulane University. Friess mencatat bahwa jika kredit karbon biru hanya digunakan untuk menutupi emisi tanpa adanya upaya nyata untuk mengurangi emisi secara keseluruhan, maka kredibilitas seluruh konsep karbon biru akan terkikis.
Proyek kredit karbon hutan dapat menjadi pelajaran berharga bagi pengembangan kredit karbon biru. Meskipun kredit karbon hutan telah populer di kalangan perusahaan, namun banyak kritik yang mengarah pada efektivitas dan transparansi dari mekanisme ini.
Para ahli khawatir bahwa kredit karbon hutan seringkali dilebih-lebihkan manfaatnya dan digunakan sebagai alat untuk menunda tindakan nyata dalam mengurangi emisi.
Untuk menghindari nasib yang sama, JBE telah menerapkan mekanisme yang ketat dalam proses sertifikasi kredit karbon biru. Kuwae menegaskan bahwa JBE hanya akan memberikan sertifikasi kepada proyek yang benar-benar berhasil dalam memulihkan ekosistem dan menyerap karbon.
"Jika ekosistem tidak membaik, maka tidak ada gunanya memberikan kredit," tegasnya.
KOMENTAR