Nationalgeographic.co.id—Berikut 5 novel klasik tak lekang waktu yang terinspirasi dari mitologi Yunani. Karya tersebut telah diwariskan kepada pencinta sastra selama berabad-abad dan terus bergema di benak pembaca lintas generasi.
Karya-karya tersebut tidak hanya membentuk karya sastra saat ini, tetapi juga jati diri kita dan cara kita memandang dunia.
Sastra klasik memiliki akar yang sangat tua, berasal dari Yunani kuno. Karya-karya besar seperti The Iliad dan The Oddyssey yang ditulis oleh Homer, serta mitos-mitos Yunani kuno lainnya, telah memengaruhi dan membentuk beberapa karya sastra klasik yang dikenal hingga saat ini.
Selama berabad-abad, banyak penulis telah mengambil inspirasi dari mitologi Yunani kuno untuk menciptakan karya-karya terobosan mereka sendiri.
Mitos tentang dua belas Dewa dan tokoh-tokoh lain seperti Odysseus, Hercules, Prometheus, dan Eros telah memicu imajinasi baik penulis klasik maupun modern, mulai dari James Joyce hingga Oscar Wilde yang kontroversial.
Berikut adalah beberapa novel klasik yang berakar pada mitologi Yunani kuno dan pencinta sastra direkomendasikan membacanya setidaknya sekali seumur hidup.
Jadi, apa saja kelima novel klasik yang terinspirasi oleh mitologi Yunani ini?
1. Ulysses, karya James Joyce
James Joyce dianggap sebagai salah satu novelis Irlandia terhebat sepanjang masa, dan kekagumannya terhadap karya Homer sangat dalam.
Ia khususnya mengagumi Odysseus, yang ia lihat sebagai salah satu tokoh paling lengkap dan kompleks dalam literatur.
Perjalanan Odysseus yang menghabiskan sepuluh tahun dalam bahaya saat perjalanan pulang ke Ithaca setelah Perang Troya, mengilhami novel Ulysses karya Joyce tahun 1922. Judul novel tersebut merupakan bentuk latin dari Odysseus.
Baca Juga: Sejarah Sebagai Seni: Novel Pramoedya di Antara Realita dan Sastra
Cerita Ulysses berlangsung selama satu hari di Dublin, mengikuti kehidupan tiga karakter.
Sebagai penghormatan kepada The Odyssey, novel ini disusun dalam episode-episode, masing-masing dinamai berdasarkan momen penting dalam epik Homer, dengan judul-judul seperti “Calypso,” “Lotus Eaters,” “Cyclops,” “Circe,” “Penelope,” dan “Ithaca,” di antara lainnya.
Joyce dengan terampil menggambarkan persamaan metaforis antara karakternya dan karakter dari The Odyssey, serta berbagai peristiwa penting.
Tokoh utamanya, Leopold Bloom, adalah versi modern dari Odysseus, sementara istrinya, Molly Bloom, mencerminkan Penelope.
Gambaran ini disempurnakan oleh Stephen Dedalus, yang merupakan rekan dari putra Odysseus, Telemachus.
Seperti banyak karya Joyce lainnya, Ulysses mengeksplorasi tema-tema nasionalisme Irlandia dan hubungan yang rumit dengan pemerintahan Inggris. Memadukan politik dengan mitos kuno.
Sintesis ini menjadikan novel Joyce sebagai karya seni yang bersifat pribadi dan universal.
2. Frankenstein, karya Mary Shelley
Judul lengkap novel Mary Shelley tahun 1818, Frankenstein atau The Modern Prometheus yang mirip dengan mitologi Yunani, bukanlah kebetulan.
Shelley terinspirasi dari tokoh Prometheus dalam Prometheus Bound karya Aeschylus dan Metamorphosis karya Ovid. Dalam Frankenstein, ia membayangkan kembali mitos kuno ini melalui sudut pandang Gothic era Victoria.
Frankenstein berpusat pada Victor Frankenstein, seorang ilmuwan muda yang bersemangat dan kekanak-kanakan yang membawa makhluk cerdas ke laboratoriumnya.
Tindakan inovatif untuk menciptakan kehidupan dari ketiadaan ini mencerminkan mitos Prometheus. Menentang para dewa Olimpiade dengan mencuri api untuk diberikan kepada manusia, sehingga memberi mereka kekuatan untuk membangun peradaban.
Namun, kiasan Shelley terhadap mitos Prometheus tidak berakhir di sana. Ia juga mencerminkan hukuman yang dijatuhkan pada Prometheus dalam nasib Victor.
Dalam mitologi Yunani, Zeus menghukum Prometheus dengan siksaan abadi, merantainya ke sebuah batu tempat seekor elang melahap hatinya setiap hari hanya untuk beregenerasi dalam semalam.
Begitu pula dengan Victor. Ia terperangkap dalam siklus kesedihan dan rasa bersalah, yang tanpa henti dikejar oleh makhluk yang ia hidupkan.
Persamaan antara mitologi Yunani dan tragedi modern ini menjadikan Frankenstein salah satu karya sastra Gotik terhebat.
3. The Picture of Dorian Gray, karya Oscar Wilde
The Picture of Dorian Gray, karya penulis Irlandia Oscar Wilde, menceritakan kisah seorang pemuda sombong dan hedonistik yang terobsesi dengan kecantikan dan menjual jiwanya demi awet muda.
Temannya, seniman Basil Hallward, melukis potret Dorian yang secara misterius tumbuh lebih tua dan lebih rusak. Sementara Dorian sendiri tetap tak tersentuh oleh waktu.
Gagasan tentang kesombongan ini mungkin tampak familiar. Dalam menulis novelnya, Wilde mengambil inspirasi dari mitologi Yunani kuno tentang Narcissus.
Dalam mitos ini, Narcissus, seorang pemburu yang dikagumi karena kecantikannya, menolak semua orang yang mencari cintanya.
Akhirnya, ia terpikat oleh pantulan dirinya sendiri yang berkilau di kolam air, tanpa menyadari bahwa itu hanyalah bayangan dirinya sendiri.
Ia terpesona oleh kecantikannya sendiri, Narcissus menghabiskan waktu dengan menatap air dan akhirnya tenggelam.
Dorian Gray dapat dilihat sebagai Narcissus era Victoria, yang dikuasai oleh kesombongannya sendiri.
Obsesinya dengan potretnya akhirnya menjadi kehancurannya dan menyebabkan kejatuhannya yang tragis.
Mitos Narcissus yang bergema melalui karya Wilde terasa lebih relevan dari sebelumnya saat ini—dan karya klasik ini tentu saja mengandung beberapa pelajaran berharga.
4. Autobiografi Red, karya Anne Carson
Karya klasik yang lebih “kontemporer”, Autobiografi Red adalah novel syair yang diterbitkan pada tahun 1998 oleh penulis, penulis esai, dan profesor Anne Carson.
Inspirasinya terletak pada mitos Hercules dan Tugas Kesepuluhnya. Ia harus mengambil ternak dari raksasa bertubuh tiga Geryon.
Dalam mitologi Yunani, Geryon digambarkan sebagai raksasa dalam bentuk mengerikan, cucu Medusa dan keponakan Pegasus.
Dalam novelnya, Carson menawarkan interpretasi metaforis yang segar dari mitos tersebut. Geryon digambarkan sebagai anak laki-laki muda “mengerikan” yang menanggung pelecehan dari kakak laki-lakinya.
Ia menemukan pelipur lara dalam fotografi, dan menyalakan romansa dengan seorang pemuda bernama Heracles.
Penafsiran ulang Carson menunjukkan bagaimana seorang penulis yang berpengalaman dalam mitologi Yunani dapat membentuk kembali cerita-cerita ini menjadi sesuatu miliknya sendiri, kritis dan informatif, yang beresonansi kuat dengan pembaca modern.
5. ‘Till We Have Faces, oleh C.S. Lewis
Till We Have Faces adalah novel tahun 1956 karya C.S. Lewis, penulis The Chronicles of Narnia.
Novel ini terinspirasi dari dua tokoh yang kurang dikenal dalam mitologi Yunani, yaitu Eros, dewa cinta, dan Psyche, dewi jiwa.
Lewis secara khusus menata ulang kisah kuno tentang Cupid (padanan Romawi dari Eros) dan Psyche, sebagaimana diceritakan oleh Apuleius pada abad ke-2 Masehi, dengan mengubah perspektifnya.
Novel ini menceritakan kembali mitos Cupid dan Psyche melalui sudut pandang kakak perempuan Psyche, Orual.
Berbeda dengan mitologi Yunani, di mana saudari-saudari Psyche digambarkan iri terhadap hubungannya dengan Eros dan menipu Psyche untuk mengkhianatinya, Lewis memberikan peran yang kuat pada Orual.
Ia secara terbuka menuduh para dewa dan berusaha menyelamatkan Psyche, yang telah dikorbankan kepada "Dewa Gunung."
Orual menceritakan kisah tersebut sebagaimana yang "benar-benar" terjadi, menantang mitos aslinya. Dengan demikian, Lewis menunjukkan bagaimana sebuah narasi seperti miliknya dapat membentuk ulang makna sebuah mitos.
Source | : | Greek Reporter |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR