Indra melihat “serangan-serangan” tersebut lebih bersifat politis untuk melindungi industri minyak nabati mereka (Barat) seperti kedelai dan bunga matahari yang secara produktivitas kalah dari kelapa sawit.
“Mereka betul-betul melindungi itu. Karena melindungi, segala isu jelek dicari,” tutur Indra yang kemudian menyebut bahwa jika isu tentang deforestasi berhasil dibantah, maka isu lain seperti sosial, kesehatan, hingga limbah, akan mulai dibahas.
Sementara Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Winarna menyebut tudingan-tudingan tersebut “sering kali disampaikan tanpa dasar dan tanpa data.”
Mengambil contoh isu tentang kelapa sawit menyerap banyak air, Winarna berani menjamin tidak ada wilayah di Sumatera yang mengalami kekeringan akibat adanya perkebunan kelapa sawit.
“Daerah mana dari perkebunan kelapa sawit yang mengalami kekeringan? Tidak ada!” paparnya saat ditemui National Geographic Indonesia di Kantor Pusat Penelitian Kelapa Sawit, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (26/9/2024).
Bahkan Winarna menyebut ada beberapa wilayah yang awalnya tandus menjadi wilayah hijau, seperti di wilayah Gunung Tua, sehingga terjadi perubahan iklim mikro atau lokal di sana. Hal ini, menurut Winarna, menunjukkan “Justru dengan hadirnya kelapa sawit, khususnya yang dikelola dengan baik, maka dia akan menjaga lingkungan dengan bagus.”
Tungkot pun turut menanggapi “serangan-serangan” Barat, khususnya terkait dengan dampak perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dalam pandangannya, dengan sifat tumbuhan kelapa sawit yang tumbuh cepat dan produktivitas tinggi, maka daya serapnya terhadap karbon dioksida di udara juga tinggi. “Itulah kontribusi sawit terhadap lingkungan,” papar Tungkot
Walau tentu saja Tungkot tidak bisa mengabaikan adanya emisi yang dikeluarkan dalam pengolahan minyak kelapa sawit seperti penggunaan pupuk dan pengolahan di pabrik. Namun, hal-hal tersebut, menurut Tungkot, kini sudah mulai diatasi dengan beragam langkah.
Salah satunya adalah biochar tandan kosong kelapa sawit (bahan padat yang kaya karbon yang dihasilkan dari tandan kosong kelapa sawit yang dikonversi), yang selain memberikan kesuburan bagi tanah juga mampu menyimpan karbon di dalam tanah hingga ratusan tahun yang bahkan bisa diklaim sebagai carbon trading.
Sementara Winarna melihat pada dasarnya tumbuhan kelapa sawit memiliki peran besar terkait penyimpanan karbon dioksida karena memiliki biomassa yang tinggi. “Carbon stock-nya juga besar. Bakan net emisinya juga besar,” jelasnya.
Isu lain yang coba “dibantah” oleh Tungkot adalah terkait dengan adanya isu tentang proses pembukaan lahan dengan cara dibakar. Bagi Tungkot, itu tersebut sudah tidak relevan karena pada dasarnya perusahaan sawit sudah menyadari bahwa pembakaran lahan justru akan membuat tanah rusak.
Tudingan kepada para petani kecil sebagai pelaku pembakaran lahan pun tidak melulu benar. Saat bertemu dengan para petani sawit mandiri di kawasan Sawit Seberang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, National Geographic Indonesia justru menemukan bahwa mereka mengaku sudah tidak menjalankan praktik pembakaran lahan.
Alasannya? Ya, mereka paham bahwa itu justru merusak tanah. Mereka sudah menyadari bahwa pembakaran lahan hanya menguntungkan secara proses, tapi untuk jangka panjang, hal tersebut merusak tanah tempat pohon kelapa sawit ditanam.
Selain deforestasi, masalah lain yang menyelimuti industri kelapa sawit adalah konflik lahan. Selain itu, industri kelapa sawit kini tengah fokus pada upaya intensifikasi (mengoptimalkan hasil produksi dari lahan yang sudah ada). Lalu, apa saja upaya yang telah dilakukan terkait dua hal tersebut? Simak ulasannya dalam artikel berikutnya.
KOMENTAR