Nationalgeographic.grid.id—Minyak sawit, komoditas emas hitam Indonesia, telah lama menjadi pusat perdebatan sengit. Di satu sisi, ia menjadi tulang punggung ekonomi, menyumbang devisa yang signifikan.
Di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit kerap dikaitkan dengan deforestasi, hilangnya habitat satwa, dan perubahan iklim.
Bagaimana mungkin kita bisa menikmati manfaat ekonomi dari komoditas ini tanpa mengorbankan lingkungan? Pertanyaan inilah yang terus menghantui kita.
Artikel ini akan mengajak Anda menyelami lebih dalam dilema antara sawit dan hutan, serta mencari tahu apakah ada titik temu yang memungkinkan keduanya hidup berdampingan secara harmonis.
Deforestasi yang melambat, tapi…
Dengan produksi minyak sawit mentah mencapai angka fantastis 47 juta ton pada tahun 2023, Indonesia telah mengukuhkan dirinya sebagai penguasa pasar global. Lebih dari setengah minyak sawit dunia berasal dari negeri ini. Bayangkan, hampir setiap produk yang kita gunakan sehari-hari, mulai dari sabun hingga cokelat, kemungkinan besar mengandung sedikit minyak sawit dari Indonesia.
Namun, kemakmuran yang didapat dari minyak sawit datang dengan harga yang mahal. Dalam dua dekade terakhir, sekitar 3 juta hektar hutan hujan tropis—setara dengan luas negara Belanda—telah ditebang untuk membuka lahan perkebunan sawit. Bayangkan, jutaan pohon raksasa yang telah berdiri selama ratusan tahun tumbang hanya dalam hitungan tahun.
Hutan hujan tropis adalah rumah bagi jutaan spesies tumbuhan dan hewan yang tak ditemukan di tempat lain. Deforestasi skala besar mengancam kelangsungan hidup mereka. Orangutan, harimau Sumatera, dan berbagai spesies burung endemik kini terancam kehilangan habitatnya.
Selain itu, hutan juga berperan penting dalam menyerap karbon dioksida, gas rumah kaca utama penyebab pemanasan global. Dengan hilangnya hutan, emisi karbon semakin meningkat dan mempercepat perubahan iklim.
Namun, sempat ada secercah harapan. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia berhasil mengurangi laju deforestasi terkait industri minyak sawit secara signifikan. Pada periode 2018-2022, rata-rata deforestasi hanya 32.406 hektar per tahun, jauh di bawah puncaknya pada periode 2008-2012 yang mencapai lebih dari 100 ribu hektar per tahun.
Meskipun demikian, tantangan masih sangat besar. Sekitar 2,4 juta hektar hutan utuh masih terancam oleh perluasan perkebunan sawit. Permintaan global yang terus meningkat terhadap produk berbasis minyak sawit menjadi tekanan tambahan.
Baca Juga: Sejarah Kelapa Sawit di Indonesia: Hampir Berakhir Sebagai Tanaman Hias
Definisi yang tak seragam
Salah satu hal yang menarik terkait istilah hutan dan deforestasi adalah ketidakseragaman definisi dari kedua istilah tersebut. Setidaknya itulah yang ditangkap dari salah satu uraian Dr. Ir. Tungkot Sipayung dalam buku berjudul “The Myths vs. Facts: The Indonesian Palm Oil Industry in Social, Economic, and Environmental Global Issues.”
Menurut Tungkot, terdapat lebih dari 1600 definisi tentang hutan dan ada 240 definisi dari pohon yang diadopsi oleh berbagai negara baik itu pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
“Definisi-definisi tersebut tergantung pada kerapatan pohon, tinggi pohon, penggunaan lahan, kedudukan hukum, dan fungsi ekologisnya,” papar Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI tersebut.
Perbedaan definisi terkait hutan tersebut, dalam pandangan Tungkot, akan membuat definisi tentang deforestasi juga akan berbeda-beda di setiap negara.
Tungkot mengambil contoh semak belukar. Di Indonesia, ekosistem ini umumnya tidak dianggap sebagai hutan. Namun, jika kita merujuk pada definisi yang ditetapkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), semak belukar justru masuk dalam kategori hutan.
Situasi serupa juga terjadi pada sabana. Di Afrika, padang rumput luas dengan pohon-pohon yang tersebar ini sering kali dianggap sebagai hutan. Padahal, berdasarkan definisi FAO, sabana tidak memenuhi kriteria untuk disebut sebagai hutan.
Hanya saja, apapun definisi yang digunakan, pada faktanya perkebunan kelapa sawit memang telah mengalihfungsikan banyak hutan tropis. Yang berbeda hanya jumlah luas hutan yang dialihfungsikan, tergantung definisi.
Black campaign dari Barat?
Bagi, Indra Syahputra, Direktur Riset PT Socfindo, isu tentang deforestasi yang menyatakan bahwa industri kelapa sawit merusak hutan primer beserta dengan satwa-satwanya merupakan bagian dari black campaign yang dilakukan Barat.
Baca Juga: Perusahaan Ini Ubah Limbah Pertanian jadi Alternatif Minyak Kelapa Sawit
Indra melihat “serangan-serangan” tersebut lebih bersifat politis untuk melindungi industri minyak nabati mereka (Barat) seperti kedelai dan bunga matahari yang secara produktivitas kalah dari kelapa sawit.
“Mereka betul-betul melindungi itu. Karena melindungi, segala isu jelek dicari,” tutur Indra yang kemudian menyebut bahwa jika isu tentang deforestasi berhasil dibantah, maka isu lain seperti sosial, kesehatan, hingga limbah, akan mulai dibahas.
Sementara Kepala Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Winarna menyebut tudingan-tudingan tersebut “sering kali disampaikan tanpa dasar dan tanpa data.”
Mengambil contoh isu tentang kelapa sawit menyerap banyak air, Winarna berani menjamin tidak ada wilayah di Sumatera yang mengalami kekeringan akibat adanya perkebunan kelapa sawit.
“Daerah mana dari perkebunan kelapa sawit yang mengalami kekeringan? Tidak ada!” paparnya saat ditemui National Geographic Indonesia di Kantor Pusat Penelitian Kelapa Sawit, di Medan, Sumatera Utara, Kamis (26/9/2024).
Bahkan Winarna menyebut ada beberapa wilayah yang awalnya tandus menjadi wilayah hijau, seperti di wilayah Gunung Tua, sehingga terjadi perubahan iklim mikro atau lokal di sana. Hal ini, menurut Winarna, menunjukkan “Justru dengan hadirnya kelapa sawit, khususnya yang dikelola dengan baik, maka dia akan menjaga lingkungan dengan bagus.”
Tungkot pun turut menanggapi “serangan-serangan” Barat, khususnya terkait dengan dampak perkebunan kelapa sawit terhadap pemanasan global. Dalam pandangannya, dengan sifat tumbuhan kelapa sawit yang tumbuh cepat dan produktivitas tinggi, maka daya serapnya terhadap karbon dioksida di udara juga tinggi. “Itulah kontribusi sawit terhadap lingkungan,” papar Tungkot
Walau tentu saja Tungkot tidak bisa mengabaikan adanya emisi yang dikeluarkan dalam pengolahan minyak kelapa sawit seperti penggunaan pupuk dan pengolahan di pabrik. Namun, hal-hal tersebut, menurut Tungkot, kini sudah mulai diatasi dengan beragam langkah.
Salah satunya adalah biochar tandan kosong kelapa sawit (bahan padat yang kaya karbon yang dihasilkan dari tandan kosong kelapa sawit yang dikonversi), yang selain memberikan kesuburan bagi tanah juga mampu menyimpan karbon di dalam tanah hingga ratusan tahun yang bahkan bisa diklaim sebagai carbon trading.
Sementara Winarna melihat pada dasarnya tumbuhan kelapa sawit memiliki peran besar terkait penyimpanan karbon dioksida karena memiliki biomassa yang tinggi. “Carbon stock-nya juga besar. Bakan net emisinya juga besar,” jelasnya.
Isu lain yang coba “dibantah” oleh Tungkot adalah terkait dengan adanya isu tentang proses pembukaan lahan dengan cara dibakar. Bagi Tungkot, itu tersebut sudah tidak relevan karena pada dasarnya perusahaan sawit sudah menyadari bahwa pembakaran lahan justru akan membuat tanah rusak.
Tudingan kepada para petani kecil sebagai pelaku pembakaran lahan pun tidak melulu benar. Saat bertemu dengan para petani sawit mandiri di kawasan Sawit Seberang Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, National Geographic Indonesia justru menemukan bahwa mereka mengaku sudah tidak menjalankan praktik pembakaran lahan.
Alasannya? Ya, mereka paham bahwa itu justru merusak tanah. Mereka sudah menyadari bahwa pembakaran lahan hanya menguntungkan secara proses, tapi untuk jangka panjang, hal tersebut merusak tanah tempat pohon kelapa sawit ditanam.
Selain deforestasi, masalah lain yang menyelimuti industri kelapa sawit adalah konflik lahan. Selain itu, industri kelapa sawit kini tengah fokus pada upaya intensifikasi (mengoptimalkan hasil produksi dari lahan yang sudah ada). Lalu, apa saja upaya yang telah dilakukan terkait dua hal tersebut? Simak ulasannya dalam artikel berikutnya.
KOMENTAR