Nationalgeographic.co.id—Marco Polo, seorang pedagang Venesia, menjadi terkenal berkat bukunya The Travels, yang ditulisnya saat ia menjadi tahanan. Catatan perjalanan itu ditulis setelah hampir seperempat abad berkelana di Asia pada akhir abad ke-13.
Sang pengelana melakukan perjalanan di sepanjang Jalur Sutra, mendokumentasikan pengalamannya tentang budaya-budaya baru yang menarik yang ditemuinya.
Selain perbedaan budaya, sosial, agama, dan bahasa, Marco Polo juga menemukan beberapa hal menarik lainnya. Di luar tanah airnya, ia menemukan uang kertas hingga buaya untuk pertama kalinya.
Uang kertas
Saat Marco Polo berkelana, sebagian besar orang Eropa tidak mengetahui tentang uang kertas. Marco Polo menemukan ini dalam perjalanannya di kota Khan-balik, yang secara harfiah berarti 'Kota Khan'.
Kota ini berada di tempat yang sekarang menjadi pusat kota Beijing. Khan-balik adalah ibu kota musim dingin Dinasti Yuan di Tiongkok yang dipimpin bangsa Mongol. Dinasti Yuan dipimpin oleh Kubilai Khan, cicit dari Genghis Khan.
Marco Polo mencatat bagaimana Khan membuat uang kertas untuknya agar mudah dibawa. “Membawa uang kertas lebih praktis daripada membawa berton-ton koin logam,” tulis Chester Ollivier di laman The Collector.
Uang itu dibuat dari kulit pohon mulberry. Kulit pohon yang halus di antara kulit dan kayu pohon itu dipukul. Kemudian diregangkan dengan lem, lalu ditandai dengan stempel Khan.
Marco Polo menyatakan bahwa jumlah uang yang dimiliki Khan dapat membeli semua harta karun di dunia. Ia juga menambahkan bahwa rakyat Khan dengan sukarela membayar pajak mereka dalam bentuk uang kertas. Selain itu, rakyat juga membayar pajak dengan barang berharga lainnya seperti batu permata, mutiara, dan emas.
Pertemuan Marco Polo dengan buaya
Kita bisa dengan mudah menemukan buaya, baik di layar kaca atau kebun binatang. Namun, bayangkan menggambarkan buaya kepada orang-orang yang bahkan belum pernah mendengarnya, apalagi melihatnya.
Baca Juga: Sejarah Dunia: Mengapa Catatan Perjalanan Marco Polo Dianggap Penting?
Itulah yang harus dilakukan Marco Polo saat ia melakukan perjalanannya di suatu tempat yang ia sebut Kara-jang. Kara-jang kini dikenal sebagai Provinsi Yunnan, Tiongkok.
Di Kara-jang, Marco Polo menemukan reptil dan menggambarkannya sebagai makhluk menjijikkan. Ia menambahkan bahwa mulut hewan itu cukup besar untuk menelan manusia dalam sekali telan.
Ketertarikan yang kuat terlihat jelas saat membaca The Travels. Namun beberapa sejarawan dan naturalis telah membantah apakah ini benar-benar buaya yang ia gambarkan. Atau apakah Marco Polo menggunakan sedikit kebebasan puitis dan menambahkan beberapa deskripsi dari naga mitologi Tiongkok.
Ia juga menyebutkan bagaimana penduduk asli menangkap buaya untuk menjual kantung empedunya dengan harga tinggi. Penduduk asli memasang perangkap tempat buaya berjalan dari sarang mereka ke air.
Dalam perangkap ini, mereka menempatkan bilah baja setajam silet yang menghadap ke sarang buaya. Mereka kemudian menutupi bilah itu dengan pasir sehingga tidak terlihat.
Ketika buaya turun ke air untuk berburu dan makan, ia akan menusuk dirinya sendiri pada bilah itu dan memotong tubuhnya. Penduduk asli kemudian akan tahu bahwa buaya itu sudah mati ketika burung-burung melayang di atasnya. Mereka mengambil kantung empedu dan menjualnya dengan harga tinggi, karena manfaatnya sebagai obat.
Marco Polo menguraikan tiga kegunaan utama kantung empedu buaya. Yaitu untuk mengobati seseorang yang telah digigit oleh anjing gila serta untuk meringankan rasa sakit saat melahirkan. Kantung empedu buaya digunakan untuk mengobati benjolan. Benjolan diduga akan mereda setelah satu atau dua hari pengobatan dengan kantung empedu buaya.
Layanan pos
Salah satu hal yang paling dihargai yang ditulis Marco Polo dengan penuh semangat dalam The Travels adalah layanan pos. Marco Polo menulis tentang bagaimana Khan-balik menjadi titik fokus komunikasi di seluruh Kekaisaran Mongol. Oleh karena itu, Khan-balik harus memiliki layanan pos yang efisien agar dapat berkomunikasi secara efisien dengan wilayah lain.
Sistem tersebut menggunakan kuda pos. Para penunggangnya perlu menunggangi kuda pos sejauh maksimum 40 km melewati jalan utama ke lokasi berikutnya. kuda pos lain dan penunggangnya akan menunggu untuk membawa pesan lebih jauh.
Baca Juga: Mitologi Burung Roc dari Cerita Perjalanan Ibnu Batutah dan Marco Polo
Di pos-pos berkuda ini, terdapat 300 atau 400 kuda yang siap untuk membawa pesan. Ada tempat menginap yang nyaman bagi kuda dan penunggangnya untuk beristirahat dan memulihkan diri. Setelah beristirahat, mereka siap untuk perjalanan pulang atau misi berikutnya.
Selain kuda, ada juga kurir yang tidak berkuda di seluruh Kekaisaran Tiongkok. Kurir yang tidak berkuda ini merupakan pelari ahli. Mereka ditempatkan setiap 4,8 km. Mereka akan berlari ke pos berikutnya, 4,8 km jauhnya, dan menyampaikan pesan kepada pelari berikutnya. Pelari berikutnya akan melakukan hal yang sama, dan seterusnya hingga pesan tersebut sampai ke penerima yang dituju.
Para pelari ini juga mengenakan ikat pinggang besar, dihiasi dengan lonceng. “Jadi mereka dapat didengar sebelum terlihat,” tambah Ollivier. Bunyi lonceng akan memberi pelari berikutnya waktu yang cukup untuk bersiap.
Jadi mereka dapat langsung berlari ke lokasi berikutnya. Dengan cara ini, Marco Polo menambahkan, pelari ini membutuhkan waktu tidak lebih dari sehari semalam untuk menempuh perjalanan 10 hari. Atau 2 hari 2 malam untuk menempuh perjalanan 20 hari.
Marco Polo juga menambahkan bahwa pelari ini tidak hanya mengantarkan surat dan catatan. Contohnya pada musim buah. Buah yang dikumpulkan pada pagi hari di kota Khan-balik dapat dikirimkan ke Khan pada malam berikutnya di Kota Xanadu, tulisnya. Kota itu berjarak 10 hari perjalanan.
Efisiensi sistem pos yang luar biasa membuat Marco Polo takjub. Di Eropa, pedagang dan utusan sering kali dikirimi pesan melalui kuda. Namun mereka tidak akan berlari cepat seperti bangsa Mongol, sehingga komunikasi akan memakan waktu lebih lama.
Rempah-rempah
Komoditas lain yang tidak biasa bagi banyak orang Eropa yang ditemukan Marco Polo dalam perjalanannya adalah rempah-rempah. Hal ini tentu saja akan menginspirasi generasi pedagang di masa mendatang untuk mencari dan menjual rempah-rempah ini.
Rempah-rempah yang ditemukan Marco Polo sangat bervariasi, tergantung di mana ia berada di Asia. Misalnya, ia menggambarkan rasa kacang khas minyak wijen saat berada di Afghanistan. Jahe serta kayu manis yang ditemukan di Peking.
Ia juga menulis bahwa banyak orang miskin di Tiongkok dan India menggunakan bawang putih dalam jumlah besar dalam makanan. Ia menyebutkan bahwa orang-orang miskin yang berada di sekitar penangkapan buaya memotong hati buaya. Mereka memakannya mentah-mentah dengan saus berbahan dasar bawang putih untuk menambah rasa.
Salah satu rempah-rempah utama yang ia temukan adalah lada. Kemudian muncul perdagangan lada yang menguntungkan di seluruh Asia. Lada kemudian segera mencapai Eropa. Di kota Hangchow, ia menulis bahwa 4.500 kg lada dibawa ke kota itu setiap hari.
Keterkejutan Marco Polo terhadap adat pernikahan
Sepanjang perjalanannya, Marco Polo menemukan berbagai adat pernikahan yang berbeda. Di Pem, selatan Gurun Taklamakan di Tiongkok, ia menulis bagaimana wanita mengambil suami hampir sesuka mereka.
Jika suaminya pergi dalam perjalanan lebih dari 20 hari, ia secara hukum dapat mengambil suami lain. Demikian pula, ketika pria pergi selama lebih dari 20 hari, mereka secara hukum dapat mengambil istri lain.
Marco Polo juga menggambarkan adat pernikahan yang tidak biasa dari bangsa Tartar di Cathay (Tiongkok). Keluarga Mongol bisa mengatur pernikahan untuk anak-anak mereka yang telah meninggal.
Mereka akan membuat kontrak pernikahan, lalu membakarnya. Keluarga itu memiliki keyakinan bahwa angin akan membawa asapnya ke udara. Kemudian mencapai kedua anak yang meninggal itu di kehidupan berikutnya, yang mengukuhkan mereka sebagai suami istri di akhirat.
Mereka juga akan menyebarkan makanan dari pesta pernikahan. Kemudian menggambar budak, lalu membakarnya agar makanan itu juga akan sampai kepada mereka di akhirat.
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR