Nationalgeographic.co.id—Sekuel petualangan Moana membawa kita kembali ke dunia magis lautan Pasifik. Kali ini, para perompak kecil yang ikonik, Kakamora, mendapatkan sorotan yang lebih besar.
Dikenal dengan penampilan mereka yang unik—berbalut tempurung kelapa dan bersenjatakan panah beracun—Kakamora sebelumnya menjadi penghalang bagi Moana dan Maui dalam perjalanan mereka.
Namun, dalam sekuelnya, karakter-karakter ini mengalami transformasi yang mengejutkan. "Sebuah proses yang pada akhirnya semakin mendekati legenda kehidupan nyata dari para perompak kecil tersebut," ujar Marco Vito Oddo di laman comicbook.com.
Spoiler Alert
Dalam Moana 2, kita diajak menyelami kisah asal-usul Kakamora yang lebih dalam. Terungkap bahwa mereka bukanlah sekadar penjahat kecil yang suka membuat onar, melainkan suatu suku yang terjebak dalam kutukan dewa.
Dahulu kala, dewa badai Nalo menenggelamkan pulau mitos Motufetu, tempat asal muasal arus lautan. Akibat kutukan ini, Kakamora terdampar di lautan tanpa tujuan, menjadi pengembara abadi.
Perubahan signifikan dalam karakterisasi Kakamora ini memberikan dimensi baru pada cerita. Dari sekadar musuh yang perlu dikalahkan, mereka kini menjadi simbol dari sebuah bangsa yang mencari keadilan.
Keputusan Kakamora untuk membantu Moana dalam misi mengembalikan Motufetu dari dasar laut tidak hanya didorong oleh naluri bertahan hidup, tetapi juga oleh harapan untuk mengakhiri kutukan yang telah membelenggu mereka selama berabad-abad.
Penggambaran Kakamora dalam film Moana, baik dalam versi aslinya maupun sekuelnya, ternyata memiliki akar dalam kisah-kisah rakyat Pasifik. "Kakamora, dalam mitologi setempat, digambarkan sebagai makhluk legendaris sekaligus ras manusia bertubuh pendek yang terlupakan," ungkap Oddo.
Legenda dari belantara Solomon
Di Kepulauan Solomon, khususnya di pulau-pulau seperti Makira, Guadalcanal, dan Malaita, tersimpan sebuah legenda misterius yang telah turun-temurun dikisahkan oleh penduduk setempat.
Baca Juga: Dunia Hewan: Bangau Raksasa Terbang di Pulau Manusia Hobbit Indonesia
Legenda ini mengisahkan tentang keberadaan makhluk kecil dan misterius yang dikenal dengan berbagai nama, di antaranya Kakamora, mumu, dodore, dan kalibohibohi.
Makhluk-makhluk ini digambarkan sebagai sosok mungil dengan tinggi berkisar antara satu setengah hingga tiga kaki, memiliki rambut hitam panjang yang lebat, dan kuku jari tangan yang panjang serta tajam.
Namun, berbeda dengan penggambaran Disney, Kakamora dalam pandangan masyarakat asli Solomon bukanlah sekadar makhluk fiktif yang lucu. Mereka dipercaya sebagai entitas misterius yang menghuni gua-gua dan hutan lebat, serta memiliki potensi bahaya yang tidak dapat dianggap remeh.
Dengan tubuh kecil namun gesit, Kakamora diyakini memiliki kekuatan dan kemampuan bertahan hidup yang luar biasa. Mereka mampu hidup di tengah hutan belantara yang liar tanpa memerlukan alat-alat modern seperti api, dan bertahan hidup dengan mengonsumsi berbagai jenis tumbuhan dan hewan kecil yang ada di sekitar mereka.
Keberanian dan kecerdasan Kakamora dalam bertahan hidup di alam liar telah membuat mereka mendapatkan reputasi yang cukup menakutkan di kalangan penduduk setempat. Konon, jika merasa terancam atau terpojok, Kakamora tidak akan segan-segan menyerang dengan menggunakan kuku-kuku tajam mereka.
Dokumentasi tertulis paling awal mengenai Kakamora dapat ditemukan dalam buku karya Reverend Charles Fox yang berjudul The Threshold of the Pacific yang diterbitkan pada tahun 1924.
Dalam bukunya, Fox menjabarkan hasil penyelidikannya yang mengungkap berbagai bukti keberadaan Kakamora, seperti jejak kaki yang aneh dan tanda-tanda aktivitas mereka di sepanjang tepi sungai.
Temuan-temuan Fox ini seolah-olah menguatkan keyakinan masyarakat setempat bahwa Kakamora bukanlah sekadar dongeng belaka, melainkan makhluk nyata yang hidup berdampingan dengan mereka di pulau-pulau Solomon.
Meskipun penemuan Fox memiliki nilai historis yang penting, namun dari sudut pandang ilmiah, kesaksiannya masih perlu dikaji lebih lanjut.
Namun demikian, legenda Kakamora tetap menarik perhatian para peneliti dan antroplog karena dapat memberikan kita gambaran tentang bagaimana masyarakat tradisional memahami dan berinteraksi dengan alam sekitar mereka.
Selain itu, menurut Oddo, "Ada beberapa kebenaran dalam mitos Kakamora, karena manusia bertubuh kecil memang ada ribuan tahun yang lalu."
Baca Juga: Antropolog Menganalisis Cara Mengunyah 'The Hobbits' dari Indonesia
Penemuan 'Hobbit' di Flores
Pulau Flores, sebuah titik kecil di peta Indonesia, telah menyimpan rahasia evolusi manusia yang menghebohkan dunia. Pada awal abad ke-21, tepatnya tahun 2003, sebuah penemuan arkeologi yang tak terduga mengubah pemahaman kita tentang keragaman spesies manusia purba.
Di dalam Gua Liang Bua, para ilmuwan terkesima menemukan sisa-sisa kerangka individu yang sangat unik: seorang manusia purba dengan tinggi badan yang tak lebih dari 3,5 kaki, jauh lebih pendek dari manusia modern.
Penemuan ini seketika menjadi pusat perhatian para ahli paleoantropologi di seluruh dunia.
Makhluk mungil ini, yang kemudian diberi nama ilmiah Homo floresiensis namun populer disebut "Hobbit" karena kemiripannya dengan karakter fiksi dalam novel The Lord of the Rings, menjadi bukti nyata bahwa evolusi manusia jauh lebih kompleks dan beragam daripada yang pernah kita bayangkan.
Kerangka yang paling lengkap, yang diberi kode LB1, merupakan sebuah penemuan yang sangat berharga.
Sejak penemuan awal tersebut, para peneliti terus melakukan ekskavasi di Gua Liang Bua dan berhasil menemukan sisa-sisa kerangka dari sekitar 15 individu Homo floresiensis pada 2015.
Penemuan ini semakin memperkuat keyakinan bahwa populasi manusia purba ini pernah hidup dan berkembang di Pulau Flores selama ribuan tahun. Berdasarkan analisis, para ilmuwan memperkirakan bahwa Homo floresiensis hidup di pulau ini sekitar 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu.
Yang lebih menarik lagi, rentang waktu kehidupan Homo floresiensis ini, dalam perhitungan Oddo, "Berdampingan dengan manusia modern yang mencapai wilayah tersebut sekitar 50.000 tahun yang lalu."
Penemuan menggemparkan di situs Mata Menge, Flores, Indonesia, telah mengungkap babak baru dalam pemahaman kita tentang evolusi manusia. Pada tahun 2024, para ilmuwan berhasil mengidentifikasi fragmen tulang lengan atas dewasa terkecil yang pernah ditemukan dalam sejarah paleontologi.
Baca Juga: Penemuan Makhluk 'Hobbit' Prasejarah, Kehidupan Awal Mamalia Modern
Fosil berusia sekitar 700.000 tahun ini berasal dari spesies hominin purba yang diperkirakan menjadi nenek moyang langsung dari Homo floresiensis, manusia kerdil yang lebih terkenal.
Temuan ini memberikan petunjuk kuat bahwa ukuran tubuh manusia purba di Flores mengalami perubahan yang menarik sepanjang sejarah evolusi mereka.
Nenek moyang Homo floresiensis, yang hidup ratusan ribu tahun lalu, ternyata memiliki tubuh yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan keturunannya yang hidup sekitar 60.000 tahun lalu.
Penemuan ini menantang pemahaman kita sebelumnya tentang proses evolusi manusia dan menunjukkan bahwa adaptasi terhadap lingkungan yang unik dapat menghasilkan bentuk tubuh yang sangat berbeda.
Selain perbedaan ukuran tubuh, manusia purba di Flores juga memiliki ciri-ciri anatomi yang unik. Rasio panjang kaki terhadap panjang paha mereka jauh lebih tinggi dibandingkan dengan manusia modern.
Kaki mereka yang panjang relatif terhadap tubuh memberikan mereka kemampuan beradaptasi dengan lingkungan hutan yang padat di Flores. Secara detail, disebutkan bahwa panjang kaki mereka 70% dari panjang tulang paha mereka (sementara pada manusia modern "hanya" 55%).
Namun, analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki mekanisme lengkung pegas pada kaki yang penting untuk berlari jarak jauh seperti manusia modern.
Selain itu, jari kaki besar mereka yang pendek mengindikasikan gaya berjalan yang berbeda dan kurang efisien dibandingkan dengan manusia modern.
Penemuan fosil manusia purba di Flores ini telah memicu diskusi menarik tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dan mitologi. Legenda Kakamora, makhluk kecil dan misterius dalam cerita rakyat masyarakat setempat, telah lama menjadi subjek spekulasi.
Beberapa ahli antropologi berpendapat bahwa legenda ini mungkin terinspirasi oleh keberadaan manusia purba di Flores.
Mereka berhipotesis bahwa cerita tentang Kakamora merupakan hasil dari distorsi lambat dari ingatan kolektif masyarakat selama ribuan tahun, diwariskan secara turun-temurun melalui tradisi lisan.
"Sebuah alat pelestarian memori yang masih memiliki tempat penting dalam budaya Kepulauan Pasifik," pungkas Oddo.
75 Perempuan Berlatih Seni Bertahan Hidup pada Gelaran Women Jungle Survival Course EIGER 2024
KOMENTAR