Nationalgeographic.co.id—Sebuah temuan ilmiah terbaru telah menyoroti ancaman serius yang dihadapi planet kita: meluasnya daerah gersang secara global.
Dalam kurun waktu tiga dekade menjelang tahun 2020, para ilmuwan telah mengamati peningkatan signifikan dalam luas wilayah daratan yang mengalami kekeringan permanen dibandingkan dengan periode 30 tahun sebelumnya (1961-1990).
Data yang dirilis pada tanggal 9 Desember 2024 oleh para ilmuwan PBB menunjukkan bahwa kondisi ini telah memengaruhi hingga 77,6% dari total luas daratan Bumi.
Lebih spesifiknya, analisis mendalam mengungkapkan bahwa sekitar 4,3 juta kilometer persegi dari lanskap yang sebelumnya lembap telah berubah menjadi lahan kering.
Daerah-daerah ini dicirikan oleh curah hujan yang sangat rendah, kurang dari 65% dari tingkat penguapan yang dibutuhkan oleh atmosfer.
Perubahan drastis ini memiliki konsekuensi yang sangat serius bagi berbagai aspek kehidupan di Bumi, termasuk pertanian, ekosistem alami, dan mata pencaharian jutaan manusia yang bergantung pada ketersediaan air.
Kurangnya curah hujan secara langsung berdampak pada pertumbuhan tanaman, produktivitas padang rumput, serta keseimbangan ekosistem. Kondisi kekeringan yang berkepanjangan juga mengancam ketahanan pangan dan memicu berbagai masalah sosial-ekonomi.
Lahan tersebut kini mencakup 40,6 persen dari total luas daratan Bumi (tidak termasuk Antartika). Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, luas lahan kering yang baru ini teridentifikasi setara dengan lebih dari sepertiga luas negara India, negara terbesar ketujuh di dunia.
Jika upaya global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak segera ditingkatkan, situasi ini diperkirakan akan semakin memburuk. Para ilmuwan memprediksi bahwa pada akhir abad ini, tambahan 3% dari wilayah lembap di dunia akan mengalami kekeringan, semakin memperparah krisis air global.
Satistik ini merupakan salah satu dari beberapa laporan yang tidak kalah suramnya yang bertajuk "Ancaman Global Lahan Kering". Dirilis pada Konferensi Para Pihak ke-16 (COP16) terhadap Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD) di Riyadh, Arab Saudi, laporan ini mengungkap data yang sangat mengkhawatirkan mengenai meluasnya lahan kering di seluruh dunia
Penelitian ini, yang merupakan upaya pertama dari para ilmuwan Antarmuka Sains-Kebijakan UNCCD untuk mendokumentasikan secara komprehensif tren dan dampak pengeringan global, menyajikan gambaran yang sangat jelas tentang ancaman serius yang dihadapi oleh manusia dan ekosistem di hampir seluruh penjuru planet.
Baca Juga: Pengurbanan 42 Anak, Upaya Putus Asa Atasi Kekeringan di Meksiko
Laporan ini tidak hanya mengukur luas lahan kering yang telah terjadi di masa lalu, tetapi juga memproyeksikan peningkatannya di masa depan. Dengan demikian, laporan ini diharapkan memberikan wawasan yang sangat berharga bagi para pengambil kebijakan di seluruh dunia untuk memahami skala dan kompleksitas masalah ini.
Kegersangan: Ancaman senyap yang mengubah Bumi
Perbedaan antara kegersangan dan kekeringan seringkali membingungkan, namun keduanya memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan di Bumi.
Kekeringan, sebagai fenomena jangka pendek, ditandai oleh periode curah hujan yang jauh di bawah rata-rata, seringkali disertai suhu tinggi dan kelembaban udara yang rendah. Kekeringan ini, meskipun merugikan, pada umumnya bersifat sementara dan ekosistem memiliki kemampuan untuk pulih setelahnya.
Sebaliknya, kegersangan adalah kondisi kekurangan kelembaban yang persisten dalam jangka panjang, yang jauh melampaui fluktuasi iklim normal. Kondisi ini menciptakan lingkungan yang sulit bagi sebagian besar kehidupan terestrial, menyebabkan degradasi lahan yang parah dan mengancam keberlanjutan sistem pertanian. Kegersangan seringkali dianggap sebagai pendorong utama di balik degradasi lahan pertanian di seluruh dunia.
Ibrahim Thiaw, sekretaris eksekutif UNCCD, menekankan bahwa dampak kegersangan bersifat permanen. Tidak seperti kekeringan yang bersifat sementara, kegersangan mengubah iklim suatu daerah secara fundamental.
"Ketika iklim suatu daerah menjadi lebih kering, kemampuan untuk kembali ke kondisi sebelumnya hilang. Iklim yang lebih kering, yang kini memengaruhi lahan luas di seluruh dunia, tidak akan kembali seperti semula dan perubahan ini sedang mendefinisikan kembali kehidupan di Bumi," tegas Thiaw di laman Down to Earth.
Studi UNCCD juga mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar peningkatan kegersangan dalam beberapa dekade terakhir secara langsung terkait dengan perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia.
Lebih menyedihkan lagi, tidak ada satu pun wilayah di planet ini yang sudah dinyatakan beralih menjadi lahan gersang dapat kembali menjadi lahan basah di masa depan.
Asia paling menderita
Populasi global yang menghuni lahan kering telah mengalami peningkatan drastis dalam tiga dekade terakhir, mencapai angka yang mengkhawatirkan yaitu 2,3 miliar jiwa. Proyeksi masa depan, khususnya dalam skenario perubahan iklim yang paling pesimistis, memperkirakan jumlah ini akan melonjak hingga lima miliar jiwa pada akhir abad ke-21.
Baca Juga: Belasan Wilayah Indonesia Alami Kekeringan, Deteksi Dini Bisa Jadi Kunci Mitigasi
"Miliaran orang ini menghadapi ancaman yang lebih besar terhadap kehidupan dan mata pencaharian mereka dari peningkatan aridikasi dan desertifikasi terkait iklim," laporan tersebut mengingatkan.
Benua Asia menjadi kontributor terbesar terhadap jumlah penduduk lahan kering dunia, dengan 1,35 miliar jiwa atau lebih dari separuh total populasi global yang tinggal di kawasan ini.
Tiga negara dengan populasi lahan kering terbesar di dunia, yakni China, India, dan Pakistan, secara kolektif menyumbang sekitar 50% dari total populasi global yang menghadapi tantangan hidup di lingkungan yang gersang. Di sisi lain, hampir separuh populasi benua Afrika, atau sekitar 620 juta jiwa, juga tinggal di wilayah-wilayah yang mengalami kegersangan.
Tak hanya lingkungan, ekonomi pun terdampak
Peningkatan kegersangan yang terjadi secara global telah menimbulkan dampak yang sangat signifikan terhadap perekonomian dunia, terutama di kawasan Afrika dan Asia.
Studi menunjukkan bahwa antara tahun 1990 hingga 2015, negara-negara di benua hitam mengalami penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 12% akibat kekeringan yang berkepanjangan.
Kondisi ini bahkan lebih parah di Asia, di mana fenomena aridikasi—yang dampaknya lebih kompleks dibandingkan hanya perubahan curah hujan atau suhu—diperkirakan telah menyebabkan penurunan PDB sebesar 2,7% selama periode yang sama.
Proyeksi model iklim masa depan menunjukkan bahwa peningkatan kegersangan akan memperburuk kondisi kemiskinan, terutama di kawasan Afrika dan Asia, dengan masing-masing diperkirakan mengalami kerugian pertumbuhan PDB sekitar 16% dan 6,7%.
Selain itu, kegersangan juga akan memicu terjadinya kebakaran hutan yang lebih besar dan lebih sering.
Sebagai contoh, pada tahun 2100, California diperkirakan akan mengalami peningkatan area yang terbakar akibat kebakaran hutan sebesar 74% dibandingkan akhir abad ke-20, sementara Yunani akan menghadapi peningkatan 40% hari dengan bahaya kebakaran tinggi.
Dampak kegersangan tidak hanya dirasakan oleh manusia, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup berbagai spesies.
Baca Juga: Lewat AI, Peneliti Sanggup Prediksi Kekeringan yang Bakal Terjadi di Masa Depan
Setidaknya 55% spesies mamalia, reptil, ikan, amfibi, dan burung di seluruh dunia berisiko kehilangan habitat akibat perluasan wilayah gersang. Beberapa wilayah yang sangat rentan terhadap ancaman ini adalah Afrika Barat, Australia Barat, Semenanjung Iberia, Meksiko Selatan, dan hutan hujan Amazon Utara.
Di samping itu, peningkatan kegersangan juga akan mempercepat proses desertifikasi, yang berakibat pada peningkatan frekuensi dan intensitas badai pasir dan debu. Fenomena ini telah terbukti memiliki korelasi yang kuat dengan kondisi kekeringan berkepanjangan, serta faktor-faktor lain seperti penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan.
Persiapan untuk lanskap yang secara abadi lebih kering
Laporan tersebut dengan tegas mengategorikan kegersangan sebagai ancaman global yang sangat serius, bahkan mengancam kelangsungan hidup manusia. Selama bertahun-tahun, upaya untuk mendokumentasikan peningkatan kegersangan secara akurat telah terkendala oleh "kabut ketidakpastian ilmiah".
Hal ini disebabkan oleh sifat kegersangan yang kompleks dan jangka panjang, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti curah hujan, penguapan, dan transpirasi tanaman. Kompleksitas ini telah menyebabkan hasil penelitian yang seringkali bertentangan dan memunculkan banyak perbedaan pendapat di kalangan para ilmuwan.
Namun, laporan terbaru ini memberikan pandangan yang lebih jelas dan konsisten mengenai peningkatan kegersangan di seluruh dunia. Dengan adanya data dan analisis yang lebih baik, kita sekarang dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana kegersangan semakin meluas dan berdampak pada kehidupan manusia dan ekosistem.
Laporan ini akan sangat berguna bagi setiap negara untuk melacak perubahan kekeringan dan mengembangkan kebijakan serta pendekatan untuk memperlambat kenaikannya, mengurangi dampaknya, dan beradaptasi dengan lanskap yang secara abadi lebih kering.
KOMENTAR