Nationalgeographic.co.id—Para Furies, dalam mitologi Yunani, adalah dewa-dewi perempuan yang dikaitkan dengan pembalasan dendam.
Mereka juga dikenal sebagai Erinyes atau Eumenides dan sering digambarkan sebagai tiga saudara perempuan: Alecto (tak berkesudahan), Megaera (dengki), dan Tisiphone (kehancuran penuh dendam).
Para Furies lahir dari darah dewa purba Uranus ketika ia dikebiri oleh putranya Cronus dan darahnya jatuh ke bumi. Para Furies berperan besar menjadikan dunia bawah sebagai tempat yang benar-benar menakutkan untuk ditinggali.
Sebagai tiga dewi pembalasan dendam Yunani kuno, mereka adalah entitas menakutkan yang tinggal di dunia bawah untuk menghukum manusia yang melanggar aturan moral dan hukum.
"Para Furies sebagian besar tertarik pada orang-orang yang telah membunuh anggota keluarga, dan secara khusus berusaha melindungi orang tua dan saudara tertua," ungkap Maup van de Kerkhof dalam The Furies: Goddesses of Vengeance or Justice? sebagaimana dilansir pada laman History Cooperative.
"Tentu saja ini bukan hanya kebetulan karena mereka tiga bersaudara ini lahir dari pertengkaran keluarga. Karena itu, keputusan untuk menghukum mereka yang menyakiti keluarga dianggap cukup masuk akal," jelasnya.
Ketika ketiga dewi itu menemukan manusia yang melanggar sumpah mereka, mereka akan menentukan hukuman yang sesuai dengan pelanggaran tersebut.
Hukuman itu bisa berwujud bermacam-macam, seperti menyebabkan penyakit atau membuat korban kehilangan kewarasan sementara.
Meskipun tampak kejam, hukuman tersebut biasanya dianggap sebagai balasan yang adil atas kejahatan yang dilakukan. Pandangan ini semakin mengakar kuat seiring berjalannya waktu.
"Meskipun tiga sosok Furies sering disebutkan, jumlah mereka sebenarnya tidak selalu jelas. Namun, dapat dipastikan bahwa setidaknya ada tiga Furies berdasarkan karya penyair kuno Virgil," terang Van de Kerkhof.
Virgil, seorang penyair sekaligus peneliti Yunani, menggunakan penelitian dan sumber-sumber kunonya untuk menciptakan karya sastra yang mendalam.
Baca Juga: Cinta, Pernikahan, dan Kehidupan Wanita Yunani Kuno yang Kompleks
Dalam epiknya, Aeneid, ia mengidentifikasi tiga Furies utama: Alecto, Tisiphone, dan Megaera. Ketiganya dikenal sebagai dewi yang membawa kutukan berdasarkan sifat yang mereka wujudkan.
Alecto dikenal sebagai saudari yang mengutuk orang-orang dengan 'kemarahan yang tak berujung'. Saudari kedua, Tisiphone, dikenal mengutuk orang-orang berdosa dengan 'kehancuran yang penuh dendam'. Saudari terakhir, Megaera, ditakuti karena kemampuannya mengutuk orang-orang dengan 'kemarahan yang penuh kecemburuan'.
Dewi-dewi Perawan
Ketiga saudari itu dikenal sebagai tiga dewi perawan. Banyak dewi Yunani yang disebut seperti itu. Seorang perawan adalah kata yang dikaitkan dengan wanita yang belum menikah, muda, bersemangat, riang, dan agak erotis. Para Furies adalah para perawan yang sangat terkenal, tetapi Persephone adalah yang paling terkenal.
Para Furies juga dikenal dengan beberapa nama lain. Selama bertahun-tahun, dialek, penggunaan bahasa, dan masyarakat Yunani kuno banyak berubah. Oleh karena itu, banyak orang dan sumber menggunakan nama yang berbeda untuk Furies di zaman modern.
Erinyes
Sebelum mereka disebut Furies, mereka lebih dikenal sebagai Erinyes. Memang, Erinyes adalah nama yang lebih kuno untuk merujuk pada Furies.
Kedua nama tersebut kini digunakan secara bergantian. Nama Erinyes diyakini berasal dari bahasa Yunani atau Arcadia, dialek Yunani kuno.
Ketika kita melihat bahasa Yunani klasik, nama Erinyes diyakini berasal dari kata erino atau ereunao . Keduanya menandakan sesuatu seperti 'saya memburu' atau 'menganiaya'. Dalam dialek Arcadia, nama tersebut diyakini berasal dari kata erinô. Ini berarti 'aaya marah'.
Eumenides
Nama lain yang digunakan untuk merujuk pada Furies adalah Eumenides. Tidak seperti Erinyes, sebutan Eumenides baru muncul pada masa kemudian. Nama ini memiliki arti "yang bermaksud baik," "yang baik hati," atau "dewi yang membawa ketenangan."
Namun, perubahan nama ini bukan tanpa alasan. Sebutan Furies dianggap tidak lagi sesuai dengan semangat zaman Yunani kuno pada masa tertentu.
"Secara singkat, masyarakat Yunani mulai mengadopsi sistem peradilan yang berbasis keadilan, bukan balas dendam," jelas Van de Kerkhof.
Karena nama Furies atau Erinyes identik dengan balas dendam, perubahan nama diperlukan agar keberadaan para dewi ini tetap relevan.
Alih-alih menggunakan nama asli ketiga saudari itu—yang dianggap membawa risiko besar—masyarakat memilih untuk memanggil mereka sebagai Eumenides.
Dalam sebuah pengadilan mitologis, dewi perang dan kebijaksanaan, Athena, memutuskan untuk menyebut mereka Eumenides sebagai bagian dari perjanjian simbolis.
Seluruh perjanjian, meskipun merupakan pembedaan yang semata-mata sewenang-wenang, dibagi menjadi tiga bagian.
Ketika ketiga dewi itu berada di surga, mereka akan disebut Dirae. Ketika mereka dikandung sebagai makhluk di bumi, mereka akan mengadopsi nama Furiae. Dan ketika mereka tinggal di dunia bawah, mereka akan disebut sebagai Eumenides.
Kehidupan dan Hakikat Furies
Sebagai penghuni dunia bawah, Furies digambarkan sebagai perwujudan kutukan yang mampu menyiksa atau bahkan membunuh manusia.
Dalam beberapa cerita, mereka juga dilihat sebagai manifestasi dari roh-roh orang yang terbunuh. Seperti banyak dewa dalam mitologi Yunani, kisah tentang mereka pertama kali muncul dalam Iliad, salah satu karya besar literatur Yunani kuno.
Furies tidak dilahirkan seperti manusia biasa. Sebagaimana banyak tokoh dalam mitologi Yunani, kelahiran mereka penuh dengan keajaiban dan keanehan.
Hesiod, dalam karya klasiknya Theogony, mengisahkan bagaimana para Furies tercipta. Theogony, yang ditulis pada abad ke-8 SM, adalah catatan kronologis tentang para dewa Yunani dan asal-usul mereka.
Kisah kelahiran Furies bermula dari konflik antara dua dewa purba, Uranus (langit) dan Gaia (bumi). Sebagai pendiri kosmos dalam mitologi Yunani, keduanya dikenal sebagai leluhur para Titan dan dewa Olimpus.
Namun, hubungan mereka retak ketika Uranus memenjarakan anak-anak mereka—Cyclops, makhluk bermata satu yang memiliki kekuatan luar biasa, dan Hecatoncheires, raksasa dengan lima puluh kepala dan seratus lengan yang sangat kuat. Kemarahan Gaia memuncak, dan ia meminta salah satu putranya, Cronus, untuk melawan Uranus.
Aksi Cronus dan Kelahiran Furies
Cronus akhirnya menuruti permintaan ibunya. Dalam pertarungan melawan Uranus, ia mengebiri ayahnya dan membuang alat kelaminnya ke laut.
Darah yang terciprat dari luka Uranus meresap ke bumi (Gaia), dan dari interaksi tersebut lahirlah para Furies—tiga sosok dewi pembalas dendam.
Namun, cerita ini tidak berakhir di sana. Busa yang muncul di lautan akibat alat kelamin Uranus juga melahirkan Aphrodite, dewi cinta dan kecantikan.
Dengan demikian, peristiwa yang sama menghasilkan dua kekuatan yang bertolak belakang: cinta melalui Aphrodite dan pembalasan dendam melalui Furies.
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR