Nationalgeographic.co.id—Pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa masyarakat Indonesia tidak perlu takut akan terjadinya deforestasi dengan alasan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit memicu perdebatan.
Terlebih, Prabowo kemudian melanjutkan pernyataannya tersebut dengan menyebut pohon kelapa sawit juga merupakan pohon yang, menurutnya, sama-sama dapat menyerap karbon dioksida yang ada di udara.
"Saya kira ke depan kita harus tambah tanam kelapa sawit. Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan? Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang boten-boten saja itu orang-orang itu," demikian pernyataan lengkap Prabowo dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional di Gedung Bappenas, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (30/12/2024).
Sontak pernyataan tersebut mendapatkan beragam respons negatif dari para pakar, akademisi, dan para pemerhati lingkungan. Terlebih, kelapa sawit sendiri memang masih menjadi salah satu produk yang kontroversial.
Sebab, meski memiliki potensi ekonomi yang besar, industri minyak kelapa sawit juga dihadapkan pada berbagai permasalahan kompleks. Pertumbuhan pesat industri ini dalam beberapa dekade terakhir, dengan peningkatan produksi tujuh kali lipat sejak tahun 1990, telah menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dampak yang paling disoroti tentu saja adalah dampak terhadap hutan dan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Deforestasi skala besar untuk membuka lahan perkebunan sawit telah mengancam habitat berbagai spesies langka seperti orangutan, harimau, dan badak.
Selain itu, hutan hujan tropis yang kaya akan keanekaragaman hayati di Indonesia dan Malaysia telah kehilangan sebagian besar luasnya akibat perluasan perkebunan sawit. Bahkan, 45% perkebunan sawit di Asia Tenggara saat ini berada di lahan yang sebelumnya merupakan hutan pada tahun 1989.
Deforestasi, degradasi lahan gambut, dan kebakaran hutan yang sering terjadi di area perkebunan sawit juga berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Sebuah penelitian pada tahun 2018 menunjukkan bahwa mengganti hutan hujan dengan perkebunan sawit melepaskan 61% karbon yang tersimpan di hutan ke atmosfer. Setiap hektar hutan hujan yang dikonversi setara dengan melepaskan 174 ton karbon ke udara.
Perkebunan kelapa sawit juga menimbulkan dampak sosial karena seringkali dikaitkan dengan praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab, seperti korupsi, penggusuran paksa masyarakat adat, dan konflik perebutan lahan. Pelanggaran hak-hak pekerja juga menjadi masalah serius, termasuk upah rendah, kerja paksa, pekerja anak, dan intimidasi.
Kenapa kita tidak berhenti saja menggunakan kelapa sawit?
Minyak sawit telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern. Kandungan lemak nabati yang tinggi dan sifat fisiknya yang unik membuat minyak sawit banyak digunakan dalam berbagai produk. Sekitar setengah dari semua produk kemasan yang kita temui di supermarket mengandung minyak sawit.
Baca Juga: Kelapa Sawit Rakus Air dan Nutrisi, Ancam Kekeringan Irigasi Sawah
* Industri makanan: Minyak sawit banyak digunakan dalam pembuatan makanan olahan, seperti margarin, cokelat, biskuit, dan makanan ringan. Sekitar 68% dari total penggunaan minyak sawit dunia ditujukan untuk industri makanan.
* Kosmetik dan produk perawatan pribadi: Minyak sawit juga menjadi bahan baku utama dalam pembuatan sabun, sampo, lotion, dan kosmetik lainnya. Sekitar 27% dari total penggunaan minyak sawit dunia digunakan dalam industri ini.
* Minyak goreng: Di banyak negara, terutama di Asia dan Afrika, minyak sawit digunakan sebagai minyak goreng.
* Industri lain: Selain itu, minyak sawit juga digunakan dalam industri pelumas, farmasi, pakan ternak, dan sebagai bahan bakar biodiesel. Pada tahun 2020 saja, Uni Eropa mengimpor minyak sawit sebanyak 58% untuk digunakan sebagai bahan bakar biodiesel.
Seperti dilansir Dialogue Earth, konsumsi global komoditas ini mengalami lonjakan signifikan dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, yakni meningkat dua kali lipat dari rata-rata 7,7 kilogram per orang per tahun pada tahun 2015.
Dengan proyeksi permintaan yang terus membesar, diperkirakan mencapai antara 264 hingga 447 juta metrik ton pada tahun 2050, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan krusial: mungkinkah kita berhenti menggunakan kelapa sawit dan berbagai produk turunannya?
Mengingat dampak luas yang akan ditimbulkan, pelarangan terhadap minyak sawit bukanlah langkah yang bijaksana. Sektor ini menjadi sumber mata pencaharian bagi jutaan orang di seluruh dunia, dan keputusan untuk menghentikan produksinya secara tiba-tiba akan menimbulkan konsekuensi sosial dan ekonomi yang sangat besar.
Selain itu, mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lainnya juga bukan solusi yang ideal. Studi menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan global akan minyak nabati, kita membutuhkan lahan yang jauh lebih luas jika dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk produksi minyak sawit.
Sebagai contoh, jika seluruh pasokan minyak nabati dunia berasal dari minyak bunga matahari, maka kita memerlukan lahan seluas 312 juta hektar, atau lebih dari empat kali lipat luas lahan yang dibutuhkan untuk produksi minyak sawit.
Munculnya minyak kelapa sawit berkelanjutan
Mengingat sulitnya kita melepaskan ketergantungan kita kepada minyak kelapa sawit, maka muncullah sebuah konsep kelapa sawit berkelanjutan. Tujuannya mulia, yaitu agar industri kelapa sawit mampu mengurangi berbagai dampak lingkungan dan sosial dari segala jenis aktivitasnya.
Baca Juga: Mengapa Pohon Sawit Sebanyak Apa pun Tidaklah Sama dengan Hutan?
Hanya saja membedakan minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan dari yang tidak bukanlah perkara mudah. Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, banyak produk yang mengandung minyak sawit tidak mencantumkan secara jelas dalam labelnya. Bahan-bahan turunan minyak sawit seperti sodium lauryl sulfate atau propylene glycol seringkali tersembunyi dalam daftar panjang bahan.
Selain itu, kompleksitas rantai pasok minyak sawit membuat sulit untuk melacak asal-usul bahan baku hingga ke perkebunan. Akibatnya, sulit untuk memastikan apakah minyak sawit yang kita konsumsi berasal dari perkebunan yang telah merusak hutan atau melanggar hak-hak masyarakat setempat.
Dalam upaya mengatasi dampak negatif produksi minyak sawit terhadap lingkungan dan sosial, berbagai skema sertifikasi telah bermunculan. Skema ini memberikan label "berkelanjutan" kepada perusahaan atau rantai pasok yang memenuhi kriteria lingkungan dan sosial tertentu. Namun, beragamnya standar dan metode verifikasi yang digunakan membuat tingkat keberlanjutan yang diklaim pun berbeda-beda.
Beberapa negara penghasil minyak sawit terbesar, seperti Indonesia dan Malaysia, telah mengembangkan standar produksi berkelanjutan mereka sendiri. Namun, secara global, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dianggap sebagai standar yang paling ketat.
Sayangnya, meskipun RSPO telah diakui luas, hanya sekitar seperlima dari minyak sawit dunia yang disertifikasi oleh organisasi ini, dan tidak semua produk tersebut diberi label RSPO.
Beberapa produsen minyak sawit memilih untuk menerapkan praktik yang lebih komprehensif, seperti pertanian regeneratif dan organik. Pendekatan ini berfokus pada pemulihan kesuburan tanah, diversifikasi tanaman, dan penggunaan pupuk organik. Meskipun masih dalam skala kecil, praktik-praktik ini menawarkan potensi besar untuk mengubah industri minyak sawit secara fundamental.
Namun, tidak semua pihak sepakat mengenai efektivitas sertifikasi. Beberapa akademisi dan organisasi non-pemerintah meragukan kekuatan standar sertifikasi dan audit yang ada, bahkan menuduhnya sebagai upaya greenwashing untuk menutupi dampak buruk perusahaan.
Di sisi lain, banyak yang berpendapat bahwa dalam absennya regulasi yang lebih ketat, sertifikasi merupakan alat yang paling efektif untuk mendorong perubahan positif dalam industri minyak sawit.
RSPO telah berhasil mendorong peningkatan praktik industri minyak sawit. Namun, dengan adanya perubahan kebijakan di beberapa negara seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat yang mewajibkan penggunaan minyak sawit berkelanjutan, sistem sertifikasi yang ada kemungkinan akan mengalami evolusi.
KOMENTAR