Nationalgeographic.co.id—Seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyaknya hutan yang ditebang di seluruh dunia. Deforestasi ini membuat ilmuwan khawatir bahwa pandemi mematikan dapat muncul dari apa yang hidup di dalamnya.
Pada tahun 1997, awan asap menyelimuti hutan hujan Indonesia. Area seluas Pennsylvania tersebut dibakar untuk dijadikan lahan pertanian. Kebakaran tersebut pun semakin diperparah oleh kekeringan.
Dipicu oleh kabut asap yang menutupi, pohon-pohon tidak dapat menghasilkan buah. Hasilnya, kelelawar buah yang tinggal di sana tidak punya pilihan lain selain terbang ke tempat lain untuk mencari makanan.
“Di saat yang sama, kelelawar turut membawa serta penyakit mematikan,” tulis Katarina Zimmer di laman National Geographic.
Tidak lama setelah kelelawar hinggap di pohon-pohon di kebun buah Malaysia, babi-babi di sekitarnya mulai jatuh sakit. Babi-babi itu mungkin memakan buah yang jatuh yang digigit kelelawar. Tidak hanya babi, para peternak babi di sana pun jatuh sakit.
Pada tahun 1999, 265 orang mengalami radang otak parah, dan 105 orang meninggal. Saat itu adalah kemunculan pertama virus Nipah pada manusia, yang sejak itu menyebabkan serangkaian wabah berulang di Asia Tenggara.
Penyakit ini merupakan salah satu dari banyak penyakit menular yang biasanya hanya menyerang satwa liar. Selain itu, juga menular ke manusia di daerah yang mengalami penggundulan hutan secara cepat.
Selama dua dekade terakhir, semakin banyak bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa penggundulan hutan, dengan memicu serangkaian peristiwa yang kompleks. Deforestasi juga menciptakan kondisi bagi berbagai patogen yang mematikan yang menyebar ke manusia.
“Seperti virus Nipah dan Lassa, serta parasit yang menyebabkan malaria dan penyakit Lyme,” tambah Zimmer.
Pembakaran hutan tropis di Amazon, dan beberapa bagian Afrika dan Asia Tenggara terus berlanjut. Para ahli menyatakan kekhawatiran tentang kesehatan masyarakat yang tinggal di garis depan penggundulan hutan. Mereka juga khawatir bahwa pandemi serius berikutnya dapat muncul dari hutan dunia kita.
“Sudah cukup jelas bahwa penggundulan hutan dapat menjadi pendorong kuat penularan penyakit menular,” kata Andy MacDonald, seorang ahli ekologi penyakit di Earth Research Institute, University of California. “Ini permainan angka. Semakin kita merusak dan menebang habitat hutan, semakin besar kemungkinan epidemi penyakit menular terjadi.”
Baca Juga: Mengapa Deforestasi Berbahaya dan Bagaimana Cara Menghentikannya?
Hubungan langsung
Malaria membunuh lebih dari satu juta orang setiap tahunnya karena infeksi parasit Plasmodium yang ditularkan oleh nyamuk. Infeksi ini diduga terjadi bersamaan dengan penggundulan hutan.
Di Brasil, upaya pengendalian telah secara drastis mengurangi penularan malaria di masa lalu. Pemerintah Brasil berhasil menurunkan 6 juta kasus per tahun pada tahun 1940-an menjadi hanya 50.000 pada tahun 1960-an.
Namun kasus malaria terus meningkat lagi seiring dengan pembukaan hutan yang cepat dan perluasan pertanian. Pada pergantian abad, ada lebih dari 600.000 kasus per tahun di lembah Amazon.
Penelitian pada akhir tahun 1990-an dilakukan oleh Amy Vittor, seorang ahli epidemiologi di Emerging Pathogens Institute, Universitas Florida. Vittor dan tim menunjukkan alasan perihal peningkatan kasus malaria di lembah Amazon.
Penebangan hutan tampaknya menciptakan habitat ideal di sepanjang tepi hutan bagi nyamuk Anopheles darlingi untuk berkembang biak. Nyamuk tersebut adalah penular malaria terpenting di Amazon.
Melalui survei di Amazon Peru, Vittor menemukan lebih banyak larva di kolam yang hangat dan teduh. Kolam ini terbentuk di samping jalan yang ditebang di hutan dan genangan air di balik puing-puing tempat air tidak lagi diserap oleh pepohonan.
“Itulah tempat yang sangat disukai Anopheles darlingi,” ungkap Vittor.
Sebuah analisis kompleks data satelit dan kesehatan diterbitkan dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences. MacDonald dan Erin Mordecai dari Universitas Stanford melaporkan dampak signifikan penggundulan hutan di seluruh lembah Amazon terhadap penularan malaria. Analisis tersebut sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya.
Mereka memperkirakan bahwa peningkatan tahunan sebesar 10 persen dalam hilangnya hutan menyebabkan peningkatan 3 persen dalam kasus malaria. Misalnya, dalam satu tahun penelitian, sepetak hutan seluas 1.600 kilometer persegi tambahan yang ditebang.
Luas ini setara dengan hampir 300.000 lapangan sepak bola—dikaitkan dengan 10.000 kasus malaria tambahan. Efek ini paling terasa di bagian dalam hutan, di mana beberapa petak hutan masih utuh, menyediakan habitat tepi lembap yang disukai nyamuk.
Baca Juga: Deforestasi Makan Korban: Dua Orang Tewas oleh Suku Terasing Hutan Amazon
Dengan kebakaran Amazon yang terus berlanjut, hasil ini bukan pertanda baik. Kebakaran tersebut membabat area seluas 12 kali ukuran Kota New York.
“Saya khawatir tentang apa yang akan terjadi dengan penularan setelah berakhirnya kebakaran,” kata MacDonald.
Sulit untuk menggeneralisasi ekologi nyamuk, yang bervariasi tergantung pada spesies dan wilayah, tegas Vittor.
Di Afrika, penelitian menemukan sedikit hubungan antara malaria dan penggundulan hutan. Mungkin karena spesies nyamuk di sana suka berkembang biak di perairan yang terkena sinar matahari.
Selain itu, mereka lebih menyukai lahan pertanian terbuka daripada area hutan yang teduh. Namun di Sabah, wabah malaria juga terjadi bersamaan dengan pembukaan hutan untuk kelapa sawit dan perkebunan lainnya.
Demam dari hutan
Nyamuk bukan satu-satunya hewan yang dapat menularkan penyakit mematikan kepada manusia. Faktanya, 60 persen penyakit menular baru yang muncul pada manusia ditularkan oleh berbagai hewan lain. Sebagian besar dari mereka adalah satwa liar.
“Termasuk HIV, Ebola, dan Nipah, yang semuanya berasal dari hewan penghuni hutan,” ujar Zimmer.
Hampir satu dari tiga wabah penyakit baru dan yang sedang berkembang terkait dengan perubahan penggunaan lahan seperti penggundulan hutan. Hal ini diungkap oleh peneliti di Ecohealth Alliance.
Banyak virus hidup tanpa membahayakan hewan inangnya di hutan, karena hewan tersebut telah berevolusi bersama mereka. Namun, manusia dapat menjadi inang patogen tanpa disadari saat mereka memasuki atau mengubah habitat hutan.
“Kita benar-benar mengubah struktur hutan,” kata Carlos Zambrana-Torrelio, seorang ahli ekologi penyakit di Ecohealth Alliance.
Baca Juga: Benarkah Kelapa Sawit Bisa Gantikan Fungsi Pohon yang Ditebang di Hutan?
Daya tarik yang mematikan
Penyakit juga dapat terjadi saat habitat baru menarik spesies pembawa penyakit keluar dari hutan.
Misalnya, di Liberia, pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit menarik gerombolan tikus yang biasanya tinggal di hutan. Tikus terpikat ke sana oleh banyaknya buah kelapa sawit di sekitar perkebunan dan permukiman.
Manusia dapat tertular virus Lassa saat bersentuhan dengan makanan atau benda yang terkontaminasi feses atau urine tikus pembawa virus. Cairan tubuh orang yang terinfeksi pun dapat menulari.
Pada manusia, virus tersebut menyebabkan demam berdarah—jenis penyakit yang sama yang dipicu oleh virus Ebola. Di Liberia, virus tersebut menewaskan 36 persen orang yang terinfeksi.
Hewan pengerat pembawa virus juga telah terlihat di daerah hutan gundul di Panama, Bolivia, dan Brasil.
Proses semacam itu tidak terbatas pada penyakit tropis. Penelitian MacDonald mengungkap hubungan yang aneh antara penggundulan hutan dan penyakit Lyme di Amerika Serikat bagian Timur Laut.
Borrelia burgdorferi, bakteri yang menyebabkan penyakit Lyme—ditularkan oleh kutu yang bergantung pada rusa penghuni hutan untuk berkembang biak dan memperoleh cukup darah untuk bertahan hidup. Namun, bakteri tersebut juga ditemukan pada tikus berkaki putih, yang kebetulan tumbuh subur di hutan yang terfragmentasi oleh pemukiman manusia, kata MacDonald.
Penularan penyakit menular ke manusia lebih mungkin terjadi di daerah tropis karena keanekaragaman satwa liar dan patogen secara keseluruhan lebih tinggi, tambahnya. Di sana, sejumlah penyakit yang ditularkan oleh berbagai hewan—mulai dari serangga penghisap darah hingga siput—telah dikaitkan dengan penggundulan hutan.
Selain penyakit yang diketahui, para ilmuwan khawatir bahwa sejumlah penyakit mematikan yang belum diketahui masih mengintai di hutan yang dapat terpapar saat manusia merambah lebih jauh.
Zambrana-Torrelio mencatat bahwa kemungkinan penularan ke manusia dapat meningkat saat iklim menghangat. Iklim hangat mendorong hewan, bersama dengan virus yang mereka bawa, ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah mereka kunjungi.
Penyakit tersebut mungkin tetap terbatas di pinggiran hutan. Atau mereka mendapatkan pijakan pada manusia. Apapun itu, penyakit tersebut melepaskan potensi pandemi, tergantung pada penularannya, kata Vittor. Beberapa virus, seperti Ebola atau Nipah, dapat ditularkan langsung antarmanusia. Secara teoritis, virus tersebut bisa menyebar ke seluruh dunia selama masih ada manusia.
Virus Zika, ditemukan di hutan Uganda pada abad ke-20, dapat menyebar ke seluruh dunia dan menginfeksi jutaan orang. Pasalnya, virus tersebut menemukan inangnya dalam bentuk Aedes aegpti, nyamuk yang berkembang biak di daerah perkotaan.
“Saya tidak ingin membayangkan bahwa patogen lain atau beberapa patogen lainnya dapat melakukan hal seperti itu. Namun akan bodoh jika tidak menganggapnya sebagai kemungkinan yang perlu dipersiapkan,” kata Vittor.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR